I.
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pengkerukan sumber daya alam
tambang pasir besi saat ini mulai marak-maraknya dibincangkan diberbagai
khalayak publik. Sebagai
sumber kemakmuran, sudah tidak diragukan lagi bahwa sektor ini menyokong pendapatan
negara selama bertahun-tahun. Sebagai perusak lingkungan, pertambangan terbuka
(open pit mining) dapat merubah total iklim dan tanah akibat seluruh
lapisan tanah di atas deposit bahan tambang disingkirkan. Selain itu, untuk
memperoleh atau melepaskan biji tambang dari batu-batuan atau pasir seperti
dalam pertambangan emas, para penambang pada umumnya menggunakan bahan-bahan
kimia berbahaya yang dapat mencemari tanah, air atau sungai dan lingkungan.
Pada pertambangan bawah (underground mining), kerusakan lingkungan
umumnya diakibatkan karena adanya limbah (tailing) yang dihasilkan pada proses
pemurnian bijih. Baik tambang dalam maupun tambang terbuka menyebabkan
terlepasnya unsur-unsur kimia tertentu seperti Fe dan S dari senyawa pirit
(Fe2S) menghasilkan air buangan bersifat asam (Acid Mine Drainage /
Acid Rock Drainage) yang dapat hanyut terbawa aliran permukaan pada saat hujan,
dan masuk ke lahan pertanian di bagian hilir pertambangan, sehingga menyebabkan
kemasamam tanahnya lebih tinggi. Tanah dan air asam tambang tersebut sangat
masam dengan pH berkisar antara 2,5 – 3,5 yang berpotensi mencemari lahan
pertanian.
Eksistensi petani pesisir pantai selatan Jawa dengan
jumlah lebih dari satu juta orang kerap kali terganggu akan hadirnya industri
pertambangan, hal ini mendorong lahirnya konflik-konflik agraria dengan
melibatkan relasi kekuasaan antara modal dengan negara terhadap petani.
Kandungan mineral di pesisir pantai selatan Jawa yang diburu oleh korporasi
pertambangan merupakan penjaga ekosistem dan salah satu faktor penentu
keberlangsungan pertanian pesisir karena kandungan mineral tersebut mengikat
unsur-unsur senyawa dari besi yang kemudian menghasilkan air tawar sebagai
sumber irigasi dan mencegah terjadinya abrasi. Pengambilan penambangan pasir besi ini banyak
ditentang diberbagai kalangan masyarakat ataupun sejumlah tokoh politik. Hal
ini dikarenakan akan menimbulkan banykanya peristiwa-peristiwa yang akan
merugikan masyarakat yang pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani.
Selain berpengaruh
terhadap kadar air laut yang akan berpengaruh terhadap tanaman, juga merusak
karakteristik pesisir pantai dibagian wilayah DIY.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Sumber Daya Alam
Sumber daya alam
adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang mempunyai nilai ekonomi dan
manfaat oleh manusia baik yang bersifat biotik maupun abiotik. Di indonesia
merupakan kawasan yang didalamnya menyimpan aneka sumberdaya alam yang beragam
dan melimpah yang tidak dimiliki oleh kawasan-kawasan negara lain. Begitu pula
kulon progo ini memiliki kandungan besi yang terdapat diantara pasir
disepanjang pesisir ini. Pasir yang
didalam komposisinya mengandung partikel-partikel besi ini banyak diincar
peruahaaan-peusahaan dalam negeri maupun luar negeri.
B.
Faktor-Faktor
Pendukung Pengerukan SDA Tambang Pasir Besi
Ada beberapa hal yang menjadi upaya pendukung
pengkerukan hasil tambang pasir besi antaralain sebagai berikut :
1. Iming-imingan mengenai pendapatan yang akan didapatkan
pertahunnya dari hasil tambang
2. Sebagian memprediksikan memperluas lapangan kerja bagi
masyarakat setempat
3. Menambah daftar nama bangsa penghasil Sumber Daya Alam
terbanyak
4. Dan lain-lain
C.
Analisis kasus
Pasir adalah riwayat hidup warga pesisir pantai selatan Kulon Progo.
Ribuan jiwa di kawasan pantai selatan kabupaten Kulon Progo, Propinsi
Yogyakarta makan dari pertanian pesisir. Sampai hari ini mereka hidup dari
pertanian pesisir yang bukan berlahan tanah tetapi pasir. Menurut catatan dari
sejarah lisan Bapak Arjo Dimejo, warga desa Karang Sewu, sebelum tahun 1942
sebagian warga Karang Sewu bertahan hidup dengan berusaha menanam Padi, Ubi
Jalar, Kentang dan Kacang Tanah di tanah pasir pesisir. Petani pesisir sejak
dulu selalu mengalami kesulitan, tetapi selalu saja mampu menyelesaikan
masalahnya secara mandiri dan otonom, tanpa bantuan pihal luar apalagi
pemerintah. Bahkan jalan menuju lahan pun yang dulunya sulit ditempuh, petani
meratakan sendiri. Sejak dari hanya membuat membuat jalan sederhana yang
ditanami batu-batu sampai akhirnya mereka aspal dengan tangan sendiri adalah
ahsil gotong royong dengan dana swadaya warga, tanpa bantuan pemerintah.
Begitulah pengakuan semua petani pesisir ketika ditanyakan peran pemerintah.
Petani pun tidak pernah mengalami konflik tanah garapan. Petani tahu mana yang
menjadi hak garapnya satu sama lain dan tidak pernah mengalami konflik status kepemilikan tanah, karena petani yang mengatur sendiri.
Kepercayaan mereka antar setiap orang dan komunitas kelompok tani melampaui
kepercayaan relasi para pebisnis yang yakin setelah disucikan di atas kontrak
hukum bermaterai.
Gambar1.penumpukan
pasir mentah.
Saat ini lahan kritis itu sudah sangat subur dengan jerih 40 puluh tahun
lebih. Tumbuhan apapun mungkin hidup di atas pasir pantai melalui tangan dan
perawatan bersama hidup mereka. Di atas pasir itu ragam tumbuhan holtikultura
mampu ditanam sepanjang musim hujan maupun kemarau. Mulai dari cabe, terong,
pari, jarak, kacang panjang, padi, jagung, semangka dan banyak lagi sayuran ada
di lahan pesisir pantai bertanah pasir sepanjang 25 KM, melalui tangan petani
telah menghijaukan bumi. Mereka menanam dengan pengetahuan kolektif, baik
melalui pengalaman mengenai teknologi modern dan juga keraifan lokal saat
menentukan musim tanam, merawat hidup tumbuhan sampai memanen lahan.
Namun ketenangan para petani mulai terusik ketika pada tahun 1964
dilakukan penelitian penyelidikan kandungan pasir dari jurusan Geologi
Universitas ITB di pesisir Kulon Progo. Penelitian yang dipimpin oleh Ir. Junus
ini menyelidiki kandungan pasir besi dan air tanah di dalamnya. Saat itu mereka
mengebor tanah sampai kedalaman 4-7 meter. Ketika itu beberapa warga yang
diminta membantu bekerja sebagai tenaga kasar dari daerah setempat menyimpan
ingatan bahwa tanah pasir tersebut di dalamnya ada air dan besi. Ingatan itu
adalah awal yang dipakai masyarakat sekitar untuk memulai mengambil alih hidup
mereka setelah 20 tahun kemudian. Imam Rejo Dkk mengajak warga bersama mencoba
membuat sumur sebagai sumber hidup. Mereka menemukan air di dalam tanah, air
tawar yang jelas tidak asin, bahkan sekalipun berada sekian meter dari bibir
pantai selatan. Melalui sumur buatan, ditangan warga dusun lahan kritis dan
mati itu menjadi hidup.
Ingatan itu tapi menjadi berbeda ketika telah dicatatkan di dalam naskah
akademis, kemudian dibaca oleh tuan tanah dan diketahui oleh penguasa. Saat
tanah itu mulai subur, memberi makan bahkan mencetak anak petani bersekolah di
perguruan tinggi, saat itu juga pencerahan meloncat tiba-tiba di benak
pengusaha dan pengklaim otoritas tanah di Kulon progo. Rencana pertambangan
pasir besi di Kabupaten Kulon Progo muncul dari desakan perusahaan keluarga
Kasultanan/Paku Alaman (Akta Notaris PT Jogja Magasa Mining) kepada pemerintah
daerah. Surat Australia Kimberly Diamond (AKD) kepada The Manager Company Announcements
Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, Subject : Ironsands-Pig
Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005, menjadi bukti
terjalinnya kesepakatan bisnis antara AKD (berubah nama menjadi Indomines Ltd
pada 2006), Krakatau Steel, dan PT. Jogja Magasa Mining/ PT. JMM (perusahaan
pertambangan milik keluarga Sultan HB X dan Paku Alam IX) untuk menambang pasir
besi di pesisir Kulon Progo seluas 22 x 1,8 km, yang meliputi kecamatan Galur,
Panjatan dan Wates, diatas lahan yang akan direncanakan untuk menjadi kawasan
pertambangan tersebut hidup tidak kurang dari 30.000 petani.
Rencana ini menjadi ancaman yang amat serius terhadap ekonomi dan
psikologis petani di pesisir Kulon Progo, dimana sejak isu rencana pertambangan
itu mencuat ketenangan batin petani seakan memasuki babak baru yang
menegangkan, petani merupakan bagian dari sistem ekonomi, politik dan budaya
yang lebih luas, dan kerap menjadi korban dari relasi kuasa yang akhirnya
mendorong konflik-konflik kelas berkepanjangan, seperti dijelaskan oleh Eric
Wolf (1985), petani selalu menyerahkan surplus-surplus mereka kepada satu
golongan penguasa yang dominan, yang menggunakan surplus-surplus itu untuk
menunjang tingkat hidup mereka sendiri dan membagikan sisanya kepada
golongan-golongan di dalam masyarakat yang tidak bertani melainkan harus diberi
makan sebagai imbalan barang-barang.
Hal tersebut tentunya menuai kontroversial yang berkepanjangan hingga
saat ini. Banyak pihak yang mendukung proses penambangan karena keuntungan
berlipat ganda yang akan dihasilkan, namun banyak pula pihak yang menolaknya
dikarenakan dampak-dampak yang akan terjadi ke depannya. Berikut merupakan
analisis mengenai dampak-dampak yang akan dihasilkan jika proses penambangan
pasir besi dilakukan di kawasan pertanian lahan pasir Kulon Progo. Beberapa dampak ini ditinjau dari aspek ekologi, etnologi, ekonomi, dan
teknologi.
1. Aspek Ekologi
Ditinjau dari aspek ekologi, dengan adanya penambangan lahan pasir akan
menyebabkan terjadinya beberapa dampak negatif diantaranya:
a.
Kerusakan ekosistem gumuk pasir
Gambar2.
Lokasi daerah Penambangan
Pesisir di Kabupaten Kulon Progo merupakan bagian dari gugusan gumuk
pasir yang memanjang dari pantai Parang Tritis, Kabupaten Bantul, dan merupakan
1 dari 14 gumuk pasir pantai di dunia dan mempunyai fungsi lingkungan sebagai
benteng terhadap ancaman bencana Tsunami. Rencana pertambangan pasir besi akan
menyebabkan jasa lingkungan kawasan itu hilang, melalui : perembesan air laut ke darat, erosi benteng tsunami, kepunahan potensi gumuk pasir
yang langka (Kompas, 11 April 2008).
b.
Dalam jangka panjang, pertambangan
adalah penyumbang terbesar lahan sangat kritis yang susah dikembalikan lagi
sesuai fungsi awalnya
c.
Pencemaran
baik tanah, air maupun udara. Misalnya debu, gas beracun, bunyi
dll.
d.
Kerusakan
tambak dan terumbu karang di pesisir
e.
Banjir,
longsor, serta lenyapnya sebagian keanekaragaman hayati
f.
Air tambang
asam yang beracun yang jika dialirkan ke laut akan merusak ekosistem dan sumber
daya pesisir dan laut
g.
Menyebabkan berbagai penyakit dan
mengganggu kesehatan
2.
Aspek Etnologi
a.
Menghilangkan fungsi tanah pesisir
sebagai kawasan yang telah menciptakan arus balik urbanisasi sejak 1990-an,
serta sebagai tempat pengembangan pengetahuan lokal, yaitu pertanian lahan pantai,
yang telah menyebar ke daerah sekitar (Samas, Trisik, Glagah, dll).
b.
Adanya
penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman. Sebagian kawasan gumuk pasir
telah diubah penduduk setempat menjadi lahan hortikultura tanpa mengurangi
fungsi utamanya sebagai daerah penyangga (Hhiddieq Dkk, 2008). Lahan produktif
ini telah memberikan keuntungan baik materi maupun non materi (jasa lingkungan,
kelembagaan, dan penegembangan pengetahuan masyarakat setempat). Rencana
pertambangan pasir besi tersebut akan mengalih fungsikan lahan secara total di
kawasan seluas 22 x 1, 8 km, dimana terdapat lahan dan pemukiman (menurut
sosialisasi Muliyono, Wakil Bupati Kulon Progo 2006-2011).
c.
Dapat menyebabkan konflik horizontal. Penggunaan
jasa-jasa preman yang terjadi selama kurun waktu rencana proyek pertambangan
pasir besi ini digulirkan akan mengundang konflik-konflik baru di dalam
masyarakat pesisir, hal ini terlihat saat ratusan preman bayaran membakar
posko-posko petani yang terjadi beberapa tahun silam dan memicu upaya kriminalisasi
secara sewenang-wenang terhadap petani pesisir Kulon progo.
d.
Pilot Project
yang diajukan oleh pihak penambang merupakan pelanggaran terhadap
perundang-undangan, terutama Perda No 1 Tahun 2003, UU No 27 tahun 2007, dan UU
No 32 Tahun 2009. Dokumen UKL dan UPL yang menjadi landasan pendirian Pilot
Project Pertambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo menyebutkan bahwa :
1.
Lahan yang
digunakan adalah milik Pakualaman (hal. 10), menurut peraturan
perundang-undangan tentang agraria yang sah, Pakualaman tidak dapat memiliki
tanah karena bukan perorangan maupun badan hukum, dan status tanah swapraja (SG
dan PAG) telah dihapuskan sejak 1984.
2.
Pilot Project
terletak pada kordinat 7"58 00.02"S/ 110'11 14,65"E (batas
utara-barat), 7'5803" S/110'11''20,17" E (batas utara-timur),
7'58'07.06" S/110'11'54" E (batas selatan-barat), dan
7'58'11.01" S/110'11'16.38"E (batas selatan-timur), tidak disebutkan
berapa jarak lokasi pilot project dari bibir pantai (halaman 8 dan lampiran
peta lokasi). Menurut Perda Kabupaten Kulon progo No 1 tahun 2003, fungsi
kawasan sempadan pantai ditetapkan sebagai kawasan lindung dan minimal berjarak
150 m dari batas pasang tertinggi kea rah daratan. Menurut UU No 27 Tahun 2007,
jarak minimum untuk kawasan sempadan pantai adalah 100 m dari titik pasang
tertinggi ke arah daratan.
3.
Berdasarkan
Tata Ruang Kab. Kulon Progo kawasan pesisir diperuntukkan sebagai kawasan
pertambangan (halaman 22). Menurut Perda Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003,
kawasan pertambangan tidak meliputi Kecamatan Galur, Panjatan dan wates yang
merupakan kawasan konsesi pertambangan pasir besi.
4.
Izin
eksplorasi pasir besi didasarkan pada keputusan Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Koperasi dan Pertambangan Kabupaten Kulon Progo No
15/Kpts/Ekpls/X/2007 (halaman 7). Izin ini kemudian diperkuat dengan SK Bupati
Kulon Progo No 47 Tahun 2010 yang diperbaharui menjadi SK Bupati Kulon Progo No
140 Tahun 2010. UU No 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa izin suatu usaha dapat
dibatalkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota apabila persyaratan
yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan,
penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan atau pemalsuan data, dokumen atau
informasi. Dengan demikian, izin pendirian Pilot Project merupakan pelanggaran terhadap
perundang-undangan, terutama Perda No 1 Tahun 2003, UU No 27 tahun 2007, dan UU
No 32 Tahun 2009.
3.
Aspek Ekonomi
Dari segi ekonomi berdasarkan sumber
dari Menteri Perindustrian MS Hidayat dalam kunjungan kerjanya ke
Yogyakarta pada 21 Maret 2011 mengatakan potensi pasir besi di pesisir selatan
Kulon Progo cukup besar, karena diperkirakan memiliki deposit sekitar 300 juta
ton dan sudah ada investor yang bersedia mendirikan industri pengolahan besi
baja dengan kapasitas 500.000 ton per tahun, serta akan ditingkatkan menjadi
dua juta ton per tahun. Walaupun demikian, hal tersebut nampaknya tidak sebanding dengan beberapa
dampak yang akan berimbas pada perekonomian warga yang notebene merupakan
petani pesisir pantai. Selain itu keuntungan ekonomi yang diperoleh hanya
bersifat sementara dan tidak memperhatikan dampak jangka panjang yang akan
ditimbulkan. Berikut ini beberapa dampak negatif yang akan terjadi jika
penambangan pasir besi tersebut dilakukan ditinjau dari spek ekonomi:
-
Hilangnya
mata pencaharian petani
Gambar3.
Daerah gunukan pasir wilayah pertambangan.
Lahan produktif tersebut telah memberikan
lapangan pekerjaan baik bagi penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai
buruh petik, tengkulak, penyedia pupuk dan benih). Rencana pertambangan pasir
besi akan meningkatkan angka pengangguran usia produktif, baik di kawasan
pesisir maupun sekitarnya. Hal ini dengan perbandingan tawaran lapangan
pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan pertambangan yang hanya mampu
menyerap tenaga kerja tidak lebih dari 6000 orang sementara saat ini ada 30.000
orang yang hidup di atas lahan pesisir tersebut sebagai petani (Kompas, April
2008).
-
Terganggunya
penyediaan kebutuhan bahan pokok.
Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702
ton/transaksi atau setara 17.548 ton/bulan (tahun 2008), sehingga menjadi
penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta dan Sumatera (Shiddieq dkk, 2008).
Rencana pertambangan pasir besi akan mengganggu stabilitas perekonomian di
sektor kebutuhan pokok harian, yaitu cabai.
4.
Aspek Teknologi
Sudah banyak teknologi yang ditujukan untuk
menanggulangi acid mine drainage(AMD). Teknologi yang diterapkan
baik yang berdasarkan prinsip kimia maupun biologi belum memberikan hasil yang
dapat mengatasi AMD secara menyeluruh. Teknik yang didasarkan atas
prinsip-prinsip kimia, misalnya pengapuran, meskipun memerlukan biaya yang
mahal akan tetapi hasilnya hanya dapat meningkatkan pH dan bersifat sementara.
Teknik pembuatan saluran anoksik (anoxic lime drain) yang menggabungkan
antara prinsip fisika dan kimia juga sangat mahal dan hasilnya belum
menggembirakan. Teknik bioremediasi dengan memanfaatkan bakteri pereduksi
sulfat memberikan hasil yang cukup menggembirakan. Hasil seleksi Widyati (2007)
dalam Widyati (2010) menunjukkan bahwa BPS dapat meningkatkan pH dari 2,8
menjadi 7,1 pada air asam tambang Galian Pit Timur dalam waktu 2 hari dan
menurunkan Fe dan Mn dengan efisiensi > 80% dalam waktu 10 hari.
Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut
dilakukan pada air sedangkan sumber-sumber yang menjadi pangkal terjadinya AMD
belum tersentuh. Hal yang sangat penting sesungguhnya adalah upaya pencegahan
terbentuknya AMD. Bagaimana mencegah kontak mineral sulfide dengan oksigen dan
menghambat pertumbuhan bakteri pengoksidasi sulfur (BOS) adalah hal yang paling
menentukan dalam menangani AMD. Bakteri ini tergolong kemo-ototrof, sehingga
penambahan bahan organik akan membunuh mikrob tersebut. Bagaimana menyediakan
bahan organik pada lahan yang begitu luas? Penanaman lahan yang baik adalah
jawaban yang tepat. Bagaimana melakukan penanaman pada lahan yang begitu berat?
Jawaban yang tepat juga penambahan bahan organik. Sebab bahan organik dapat
berperan sebagai buffersehingga dapat meningkatkan pH, sebagai
sumber unsur hara, dapat meningkatkan water holding capacity,
meningkatkan KTK dan dapat mengkelat logam-logam (Stevenson, 1997 dalam
Widyati, 2010) yang banyak terdapat pada lahan bekas tambang. Revegetasi pada
lahan bekas tambang yang berhasil dengan baik akan memasok bahan organik ke
dalam tanah baik melalui produksi serasah maupun eksudat akar.
D.
Solusi
Dilihat
dari beberapa masalah dan peristiwa yang dialami didaerah sepanjang pesisir
kulon progo ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam penanggulangan kasus
tersebut antaralain :
1. Memberikan satu suara masyarakat kepada pemerintah
setempat tentang ketidak persetujuannya tetntang rencana pengambilan
penambangan pasir besi tersebut.
2. Jika pengerukan sudah terjadi maka upaya yang dapat
dilakukan hanya mencoba mengolah kembali pasir dengan menggunakan pupuk-pupuk
kompos ataupun pupuk kandang beserta bahan-bahan lainnya seperti penambahan
tanah dengan tujuan untuk mengembalikan kembali struktur dan tekstur seperti
semula namun ini membutuhkan waktu yang sangat lama.
3. Mencoba berkompromi dengan pemerintah setempat agar
memberikan bantuan bahan-bahan pembantu pengembalian kembali keadaan lahan
dalam jumlah yang salngat besar.
4. Dan lain-lain
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Sebagaian Sumber Daya Alam yang tidak dapat
diperbaharui memerlukan waktu yang sangat lama untuk dapat kembali seperti
semula
2. Sebagaian besar dari pihak masyarakat dan kalangan
lainnya kontra terhadap kegiatan penambangan tersebut
3. Bebrapa dampak yang disebabkan oleh penambangan pasir
besi disepanjang pantai pesisir kulon progo antaralain :
a.
Aspek ekologi
b.
Aspek enthologi
c.
Aspek ekonomi
d.
Aspek teknologi
4. Beberapa solusi yang dapat dilakukan antaralain :
a.
Perundingan
antara masyarakat dengan pemerintah setempat
b.
Pengolahan
kembali lahan
IV.
SUMBER
REFERENSI
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/29/21041221/konflik.pasir.besi.pesisir.kulon.progo.tegang. diakses tanggal 14 Oktober 2012
http://id.scribd.com/doc/57289610/Lingkungan-Tambang-Pasir-Besi-Kulon-Progo-Yogyakarta. diakses
tanggal 14 oktober 2012
http://zuhdan.mhs.upnyk.ac.id/2011/10/20/kontroversi-dan-potensi-tambang-pasir-besi-di-kabupaten-kulonprogo-yogyakarta/. tanggal 14
oktober 2012
http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?cat=28. Diakses tanggal 14
oktober 2012
http://www.tataruangindonesia.com/fullpost/pertambangan/1321335411/pertamba ngan-pasir-besi.html. diakses tanggal 14
Oktober 2012
tanggal 13 Oktober 2012
0 komentar :
Posting Komentar