PENGELOLAAN LAHAN
KERING,
SEBUAH MODEL
PERTANIAN KONSERVASI
DI KAWASAN HULU DAS
JRATUNSELUNA JAWA TENGAH
Oleh :
GUNAWAN BUDIYANTO
I.
Pendahuluan.
Berdasarkan jumlah air yang
dilibatkan, lahan budidaya dipilahkan menjadi lahan basah yang sering disebut lowland/wetland
serta lahan kering yang sering disamakan dengan upland/dryland. Lahan
kering sendiri mempunyai pengertian sebidang lahan dengan keterbatasan sumber
air sepanjang tahun dan tidak pernah dalam kondisi tergenang. Keterbatasan
sumber air berarti kandungan lengasya (soil moisture content) selalu
berada di bawah kadar air kapasitas lapangan. Perbandingan jumlah curah hujan
pada saat musim hujan yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan air sepanjang
tahun (terutama untuk kebutuhan evaporasi dan transpirasi) juga sering
digunakan untuk menjelaskan istilah lahan kering.
reazkyalzoen@ymail.com
Pada umumnya usaha tani lahan kering sering
dihubungkan dengan produktifitasnya yang rendah. Salah satu sebabnya adalah ketergantungannya pada
curah hujan sebagai satu – satunya sumber air. Di samping itu, lahan kering
selalu terdiri dari lahan dengan topografi tidak merata yang mempunyai lereng
cukup besar sehingga keberadaan solum tanah atas selalu terusik oleh erosi yang
terjadi. Proses erosi dan deforestasi merupakan dua kejadian berkaitan erat
yang merupakan penyebab utama terjadinya penurunan produktifitas dan daya
dukung lahan di kawasan hulu. Sementara itu, di sisi lain proses sedimentasi
dan pendangkalan, banjir, serta penurunan fungsi tanah sebagai lumbung air selalu
timbul di kawasan hilir.
Tarrant,J. dkk. (1987) dalam Huszar (1993) menyatakan bahwa lahan
lahan atasan (upland) di Pulau
Jawa terancam memiliki masalah serius yang ditimbulkan oleh erosi, walaupun
belum ada cara tepat untuk memonitor aras erosi yang terjadi, diperkirakan
rata-rata erosi yang terjadi adalah 10-40 ton/hektar/tahun dan pada tahun – tahun berikutnya akan semakin
meningkat.
Menurut Doolette dan Margarth
(1990) telah terjadi penurunan produktifitas lahan usaha tani sekitar 3,8-4,7%
dan hal ini telah mendatangkan kerugian sebesar US$ 315 juta per tahun.
Sedangkan kerugian yang terjadi di kawasan hilir diperkirakan mencapai US$
26-91 juta per tahun. Kerugian tersebut disebabkan oleh terjadinya pendangkalan
pada sistem irigasi, pelabuhan dan dam (Agus, 1993).
Lahan kering di bagian hulu dari suatu
daerah aliran sungai (DAS) merupakan satu kesatuan kawasan agroekosistem dari
satu atau beberapa aliran sungai yang dimanfaatkan bagi budidaya pertanian
dalam kondisi keterbatasan air. Kondisi fisiografi pada umumnya bergelombang
sampai berbukit dengan keragaman lereng di beberapa bagian lahannya. Dengan
kondisi semacam ini, secara umum lahannya rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Proses ini
juga mengakibatkan timbulnya keragaman kedalaman solum tanahnya, dan
selanjutnya berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah yang ada di tempat
tersebut.
Permasalahan di atas pada umumnya juga ditemukan di areal Daerah Aliran
Sungai (DAS) yang tersebar di beberapa ekosistem sungai yang ada di Pulau Jawa.
Beberapa kajian dan penelitian guna mendapatkan metode pemanfaatan lahan di
kawasan DAS secara produktif dan lestari telah banyak dikembangkan, misalnya
DAS Jratunseluna yang ada di Jawa Tengah. Levine (1991) dalam Anwaruddin dkk. (1993) mencoba
membagi lahan kering DAS
Jratunseluna bagian hulu ke dalam 3 zona
agroekosistem, yaitu ’lahan yang berbahan volkanik’, ’lahan sedimen dalam’ dan ’lahan
sedimen dangkal’. Lahan berbahan volkanik pada umumnya menyebar di kaki-kaki
pegunungan dengan ketebalan solum 100 cm atau lebih dengan kemiringan lahan bervariasi antara 15-70% dengan tinggi tempat berkisar
antara 200-1.000 meter di atas permukaan
laut, curah hujan cukup tinggi yaitu 2.500-4.000 mm per tahun serta dengan
musim kemarau ringan sampai sedang. Jenis lahan ini banyak ditemukan di Kabupaten Semarang dan sebagian kecil
kabupaten Boyolali. Lahan sedimen dalam
banyak terhampar di daerah agak datar di kabupaten Semarang dan
Boyolali, Kecamatan Toroh di Kabupaten Grobogan dan Kecamatan Jepon Kabupaten
Blora. Ketebalan solum tanahnya berkisar antara 50-100 cm dengan kemiringan
lahan berkisar antara 10-30%, ketinggian tempat 100 – 300 meter di atas
permukaan laut, curah hujan berkisar 2.000-2.500 mm per tahun dengan musim
kemarau sedang sampai berat. Lahan sedimen dangkal ditemukan pada lereng-lereng yang curam atau
pada lahan-;pahan yang kurang stabil karena longsor yang selalu terjadi.
Ketebalan solum tanahnya kurang dari 50 cm., dengan kemiringan antara 10-40%,
tinggi tempat bervariasi antara 40-200 meter di atas permukaan laut, curah
hujan berkisar antara 1.800-2.200 mm. per tahun, dengan musim kemarau umumnya
berat. Lahan semacam ini banyak ditemukan di Kecamatan Wonosegoro, Klego dan
Andong Kabupaten Boyolali, Kecamatan Todanan di Kabupaten Blora, serta sebagian
besar di Kabupaten Grobogan.
DAS Jratunseluna merupakan kawasan yang
meliputi 5 aliran sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana yang berada
dalam 3 kawasan karesidenan Semarang, Pati dan Surakarta. Menurut Sri Yuwanti
(1993) kawasan DAS Jratunseluna sebetulnya meliputi 9 Daerah Tingkat II, yaitu
Kabupten Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali dan
Sragen. Selanjutnya disampaikan bahwa DAS Jratunseluna terbagi atas 2 bagian
utama, yaitu bagian hulu seluas 4.986 km2 atau 63% luas keseluruhan,
dan bagian hilir seluas 2.913 km2
atau 37% luas keseluruhan. Erosi dan sedimentasi dapat terjadi terus menerus karena daerah
tangkapan kurang dikelola dengan baik dan curah hujan cukup tinggi yaitu antara
1.750-2.720 mm. per tahun. Kondisi semacam ini menimbulkan erosi sebesar 1-1,5 mm. per tahun, dan
menimbulkan pendangkalan cukup parah di
kawasan hilirnya. Proses yang berlanjut terus dan berkesinambungan dari tahun ke tahun yang menimbulkan sebaran
lahan kritis sebagaimana tabel di bawah ini :
Tabel 1.
Luas Lahan Kritis di Kawasan DAS Jratunseluna Jawa Tengah
Kawasan DAS
|
Luas Lahan Kritis (ha)
|
Lokasi
|
Serang
Lusi
Tuntang/Jragung
Juana
|
38.760
30.000
30.000
31.768
|
Sebagian Kab. Semarang, Boyolali, Sragen, Grobogan dan Jepara.
Sebagian Kab.
Blora dan Grobogan
Sebagian Kab. Semarang dan Demak
Sebagian Kab.
Kudus dan Pati
|
Jumlah
|
130.428
|
|
Sumber : Bappeda Jateng, 1985
dalam Sri Yuwanti,1993
Kondisi ini setiap tahunnya menimbulkan banjir di kawasan hilir dengan
kerusakan total rata-rata seluas 30.000-85.000 hektar. Pada tahun 1995
dilaporkan meluapnya Sungai Tuntang dan
melanda sebagian Kabupaten Grobogan. Hal ini terjadi lantaran hujan selama beberapa
hari di kawasan hulu (Kedaulatan Rakyat, 1995).
II. Model Pertanian Konservasi
Lahan kering di daerah aliran sungai sebagian besar merupakan hamparan
tanah kritis yang mengalami degradasi
karena pengangkutan massa tanah, pencucian hara dan pengangkutan hara
oleh hasil tanaman. Bahan organik yang merupakan salah satu bahan pembenah
tanah (soil conditioner) dalam
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah biasanya ikut pula tercuci
(Haryati, dkk.,1990) Kelerengan yang cukup curam menyebabkan penipisan
solum tanah, ditambah dengan berbagai proses di atas secara kait mengait ikut
pula menurunkan produktifitas lahan.
Model pertanian konservasi yang
diterapkan di atas lahan-lahan kering di daerah aliran sungai ditujukan pada dua masalah utama yakni upaya
intensifikasi dan konservasi lahan. Intensifikasi berupaya membudidayakan lahan
kering yang melibatkan upaya-upaya
peningkatan kualitas tata cara budidaya. Sedangkan konservasi lahan dalam satu
paket teknologi pertanian yang dapat berlangsung secara produktif, stabil dan
berkesinambungan.
Mempertimbangkan beberapa permasalahan
yang ada, maka pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai menitikberatkan
pada tara cara pengatasan masalah yang ditimbulkan oleh adanya 1) kemiringan
lahan dan berbagai kemungkinan akibat negatif ikutannya, dan 2) ketidakmampuan
tanahnya berfungsi sebagai lumbung air serta kemiskinan bahan organik dan keharaan. Mengatasi permasalahan lahan kering berserta
kemungkinan pemanfaatannya akhirnya akan sampai kepada terciptanya pola tanam
konservasi yang cocok untuk lahan tersebut. Dengan demikian sistem usaha tani
konservasi yang diterapkan hendaknya
menggunakan pendekatan terpadu dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian
sebaik-baiknya di atas lahan kritis atau marginal agar lebih produktif dan lestari potensinya tanpa melupakan kaidah
keterkaitan yang saling mendukung dan menguntungkan antar komponen lahan.
2.1. Kemiringan lahan dan berbagai kemungkinan akibat negatif ikutannya.
Masalah yang timbul akibat adanya
berbagai tingkat kemiringan lahan adalah
aliran limpas permukaan (run off) dan terangkutnya massa tanah (erosi)
beserta potensi keharaan. Pembuatan teras bertujuan mengurangi panjang lereng serta pada akhirnya
mengurangi kecepatan aliran limpas permukaan. Berbagai macam bentuk perlakuan
mekanis disajikan dalam gambar 1. Terdapat suatu hubungan antara tingkat kemiringan dengan perlakuan
bentuk permukaan tanah guna mengurangi
laju aliran limpas ini, mulai dari sekadar membuat guludan (gundukan memanjang)
sampai berbagai bentuk teras yang harus
diterapkan. Selanjutnya dinyatakan oleh
Rahman dkk. (1989) bahwa penerapan teknik konservasi tanah selayaknya
mempertimbangkan 3 hal yaitu curah hujan
yang sering terjadi, kondisi lahan yang meliputi kemiringan, ketebalan solum
dan sifat-sifat tanah, serta kemampuan petani setempat untuk mengadopsi baik
menyangkut biaya, waktu dan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani.
Pemilihan teknik konservasi mekanik yang diterapkan di daerah aliran
sungai ditetapkan berdasarkan kemiringan lahan, solum tanah dan kepekaan tanah
terhadap erosi (erodibilitas). Beberapa percobaan yang telah dilaksanakan di
daerah tersebut didapatkan suatu gambaran bahwasanya konservasi mekanik dalam
bentuk pembuatan guludan dan teras bangku merupakan teknik konservasi yang
lebih sesuai. Konstruksi guludan lebih cocok diterapkan di atas lahan dengan kemiringan
kurang dari 15% baik yang bersolum dangkal maupun dalam yang ditanami tanaman
pangan (Anonim, 1990). Sedangkan menurut pendapat Soemartono (1989) kemiringan
lahan kurang dari 5% cukup dibuat guludan yang diperkuat dengan penanaman
berbagai jenis rumput pakan ternak yang ditanam dalam jarak agak lebar serta
tanaman penguat seperti lamtoro, turi ataupun Gliceride.
Melihat potensi masalah sosial di
DAS Jratunseluna yang pada umumnya berdekatan dengan pemukiman penduduk,
pendapat di atas harus dikaji ulang, karena penanaman rumput pakan ternak
justru dapat menimbulkan masalah pencurian rumput oleh penduduk setempat yang
pada umumnya banyak memelihara ternak. Oleh karena itu perlu dicari jenis rumput yang mudah tumbuh dengan
perakaran serabut dalam dan cenderung tidak disukai ternak. Tanaman koro benguk
(Mucuna sp.) merupakan contoh jenis tanaman yang cenderung tidak disukai
ternak, tetapi dapat dijadikan sumber gizi manusia. Lebih lanjut Anonim (1990)
menyatakan bahwa guludan ini berfungsi untuk
memperpendek panjang lereng, mengurangi terjadinya erosi permukaan dan
alur,mencegah timbulnya erosi parit, dan meningkatkat laju infiltrasi air ke
dalam tanah.
Gambar 1. Berbagai macam bentuk guludan dan teras.
Teras bangku dapat diterapkan di atas lahan dengan kemiringan 10-30%,
bersolum dalam. Teras bangku
ini sebaiknya tidak diterapkan di atas lahan dengan tanah bersolum dalam yang berpotensi
keracunan Aluminium terutama jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan Latosol tua,
serta tanah-tanah yang mudah longsor. Hal ini diperkuat oleh pendapat Suwarjo dkk.
(1984) dalam Rahman dkk. (1989) yang menegaskan walaupun teras bangku
hanya sesuai untuk tanah yang bersolum dalam dengan bahan induk volkan, tetapi
pada tanah yang bersolum dangkal, atau yang bersolum dalam dengan resiko
keracunan Al dan Fe dapat berakibat jelek kepada tanaman. Macam teras bangku
yang dapat diterapkan untuk lahan semacam ini adalah teras bangku datar, teras
bangku miring kedalam ataupun teras irigasi.
Secara umum teras bangku ini mempunyai fungsi memperlambat aliran
permukaan, menampung dan menyalurkan aliran limpas dengan kekuatan yang tidak
merusak dan meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam tanah. Lebih lanjut
Soemartono (1989) menyatakan jika kemiringan lahan berkisar antara 8-15%,
sebaiknya dibuat konstruksi teras bangku yang dilengkapi dengan saluran
pembuang, yang memudahkan pengaliran air limpasan secara terkendali.
Hasil pengamatan selama 9 bulan dalam
penelitian yang dikerjakan oleh Sembiring dkk. (1989) di Srimulyo Malang
membuktikan bahwa penerapan bentuk-bentuk konservasi mekanis terbukti dapat
mengurangi besarnya erosi yang terjadi sebagaimana tersaji dalam tabel berikut
:
Tabel 2. Erosi pada
berbagai bentuk teras.
Macam Teras
|
Erosi (ton/ha.)
|
-tanpa teras
-guludan
teras kredit
-teras bangku miring
-teras bangku datar
|
9,9
3,6
2,9
2,0
1,5
|
Tabel 2 memperlihatkan bahwasanya teras bangku datar merupakan perlakuan
konservasi tanah yang paling efektif dalam menurunkan laju erosi dibanding
dengan tindakan konservasi lainnya. Pengamatan yang dilakukan di
lapangan membuktikan bahwa teras bangku lebih stabil dan paling sedikit mengalami
perubahan bentuk, hal ini diduga karena infiltrasi tanahnya yang lebih baik,
keseragaman profil tanah lebih terjaga, serta dengan kedalaman tanah yang cukup
dalam mampu menurunkan potensi longsor.
2.2. Ketidakmampuan tanah berfungsi
sebagai lumbung air, kemiskinan
bahan organik dan keharaan.
Kehilangan air lewat aliran pemukaan (run off) dan evaporasi merupakan dua
hal yang paling umum terjadi di atas lahan kering. Keadaan ini menyebabkan
kandungan air yang tersisa di dalam tanah selalu berada di bawah kandungan air
kapasitas lapangan. Kelerengan yang dimiliki lahan kering merupakan penyebab
utama proses infiltrasi ai lebih kecil
dibanding aliran permukaan yang menuruni lerengnya. Di sisi lain proses yang selalu terjadi
berakibat terangkutnya massa tanah ke tempat yang lebih rendah. Kehilangan
massa tanah ini juga berarti hilangnya kandungan bahan organik dan fungsi tanah
sebagai lumbung air (water reservoir).
Pengembalian sisa-sisa tanaman ke dalam tanah dengan cara memasukkan
bahan organik dari luar lahan merupakan cara praktis untuk mengatasi masalah
kualitas tanah, tetapi melihat luasan lahan yang ada, nampaknya cara ini justru
menimbulkan masalah ikutan baik teknis penyedaan bahan maupun transportasi. Pembenaman bahan organik ke dalam tanah
sebagai upaya meningkatkan kemampuan tanah mengikat air, serta pemulsaan
menggunakan sisa-sisa tanaman telah pula diketahui dapat menurunkan laju
evaporasi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah juga dapat meningkatkan
kualitas sifat fisik tanah terutama dapat meningkatkan kemampuan tanahnya untuk
melawan gaya erosi (menurunkan
erodibilitas tanah). Sebagaimana disampaikan oleh Brady,N.C. (1990) bahwa
kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah sangat dipengaruhi oleh stabilitas
agregat tanah, dengan demikian ada hubungan signifikan antara stabilitas
agregat tanah dengan peningkatan kapasitas infiltrasi air serta penurunan nilai
erodibilitas tanah terutama di dalam horison atas. Oleh karena itu penanganan masalah ini
dititikberatkan kepada kemampuan lahan yang bersangkutan dalam menyediakan sendiri materi bahan
organik yang akan dibutuhkan. Penerapan yang paling efisien adakah penanaman
rumput-rumputan dan tanaman lain yang sekaligus mempunyai manfaat ganda,
disamping secara mekanis memberikan dampak positif baik sebagai bahan mulsa, juga berfungsi sebagai sumber
hara dalam bentuk pupuk organik (hijau), dalam hal ini tanaman leguminosae
sangat dianjurkan. Praktek ini disamping terbukti dapat mengurangi laju erosi
dan aliran permukan, juga secara nyata berfungsi pula sebagai pelindung teras
dan tebing (tampingan) teras. Rahman dkk. (1989) dalam hal ini telah
melakukan pengujian peranan tanaman penutup tanah dalam pengendalian erosi
tampingan teras bangku di tanah Latosol Ungaran Jawa Tengah. Jenis rumput yang
digunakan sebagai penutup tanah adalah Pennisetum purpureum, Branchiaria
brizantha, Branchia ruziziensis, Pueraria javanica dan Centrosoma pubescens
yang disusun dalam perlakuan:
- V0 =
tanpa tanaman penutup
- V1 = Pennisetum purpureum
- V2 = Pennisetum purpureum dan Branchia
brizantha dalam strip
-
V3 = Pennisetum purpureum dan Branchia ruziziensis dalam
strip
- V4 = Pennisetum purpureum dan Pueraria
javanica dalam strip
- V5 = Pennisetum purpureum dan Centrosoma
pubescens dalam strip
Hasil pengujian selama 4 bulan pertama
disajikan dalam tabel berikut :
Tabel
3. Pengaruh tanaman penutup tanah terhadap erosi dan aliran
Permukaan yang terjadi pada tampingan teras bangku.
Perlakuan
|
Erosi (ton/ha)
Bentuk tampingan
Tegak Miring
|
Aliran Permukaan (m3/ha)
Bentuk tampingan
Tegak Miring
|
V0
V1
V2
V3
V4
V5
|
1,32 1,68
1,03 1,14
0,88 0,83
0,97 0,72
1,05 0,72
1,03 1,54
|
73,3 58,6
12,3 36,7
33,8 25,9
16,5 16,5
37,9 29,3
55,7 50,7
|
Pada bentuk tampingan tegak perlakuan V2 mempunyai pengaruh paling baik
dalam menurunkan laju erosi yang terjadi. Sedangkan perlakuan V1 paling baik dalam
menghambat laju aliran permukaan. Pada bentuk tampingan miring perlakuan V3 dan
V4 mampu menurunkan erosi yang terjadi. Sedangkan perlakuan V3 paling baik
dalam menghambat laju aliran permukaan. Dari data di atas tampaknya laju aliran permukaan paling rendah belum tentu
menghasilkan erosi paling kecil. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan
tipe pertumbuhan tanaman penutup tanah dan sistem perakarannya, dengan demikian
efek penutupannya dan kemampuan
mempertahankan stabilitas agregat yang terikat dalam sistem perakarannya juga
berbeda. Rumput dengan tipe pertumbuhan tegak yang ditanam dalam strip dengan
rumput tipe pertumbuhan merambat nampaknya cenderung lebih baik dibanding strip
antara rumput tipe pertumbuhan tegak dan tanaman legum yang tumbuh merambat.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa bahan organik merupakan kunci
produktifitas lahan. Kandungan bahan organik dalam tanah memberikan dampak
perbaikan sifat fisik tanah, terutama suasana keporian dan kemampuan tanah
dalam menyimpan air lantaran koloid bahan organik yang bersifat hidrofilik.
Dampak lain yang menguntungkan adalah
kemampuan bahan organik sebagai sumber hara tanaman, juga mempengaruhi
situasi oksidoreduksi dan reaksi
pertukaran ion dalam tanah.
Dalam konsep model pertanian konservasi, tujuan konservasi bahan organik
dalam tanah disamping mengharapkan dampak positif di atas, adalah terciptanya
kualitas agregat tanah agar lebih tahan
terhadap gaya dispersi air, serta
kesudahannya diharapkan dapat menurunkan erodibilitas tanahnya. Pemanfaatan dan
upaya mempertahankan kandungan bahan
organik dalam tanah di lahan kering dititikberatkan pada pemanfaatan dan
penanaman tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan tertentu dalam
pembudidayaannya dan mampu beradaptasi dengan kualitas lahan yang rendah, serta
sekaligus mampu berfungsi sebagai sumber pupuk hijau dan bahan mulsa. Selama
masa konservasi berlangsung dan agar lahan segera dapat diambil hasilnya, jenis
pertanaman yang dianjurkan adalah pertanaman ganda yang terdiri dari tanaman
pakan (rumput), tanaman pangan dan tanaman tahunan. Dengan demikian rancangan
pola usaha tani yang diterapkan diarahkan kepada pemanfaatan komoditi yang
mampu memberikan penghasilan cukup tinggi dan sekaligus dapat mengendalikan
erosi. Perbandingan antara
tanaman pangan dan tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan diatur sebagai
berikut :
Tabel 4. Proporsi tanaman pangan dan tahunan berdasar kemiringan lahan.
Kemiringan (%)
|
Proporsi tanaman
|
<15
15-30
30-45
>45
|
75% tanaman pangan dan 25% tanaman tahunan
50% tanaman pangan dan 50% tanaman tahunan
25% tanaman pangan dan 75% tanaman tahunan
100% tanaman tahunan
|
Sumber : Anonim (1990)
Percobaan yang telah dilakukan oleh Sasa dkk.(1988) di Desa
Kandangan yang masuk dalam subDAS Tuntang dan Desa Klari yang masuk dalam
subDAS Serang dengan merakit pola tanam sejenis berdasarkan kemiringan lahan,
kedalaman solum dan kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas) dapat disimak
dalam tabel berikut :
Tabel 5. Proporsi tanaman pangan dan tahunan berdasar kemiringan lahan.
Kemiringan
(%)
|
Kedalaman solum, cm
<40 40-90 >90
Erodibilitas
rendah tinggi rendah tinggi rendah tinggi
|
<15
15-30
30-45
>45
|
C C B B B B
C C B C B B
C
D C C B C
D D D D D D
|
Keterangan :
Model A = pola uaha tani yang dilakukan petani seempat, sebagai
pembanding
ditanam dalam pergiliran dan sebagian
tumpangsari, yaitu :
(kacang
tanah-jagung-ubi kayu-kacang tanah)
(kacang
tanah-jagung-ubi kayu-cabai)
(kacang
tanah-jagung-ubi kayu-ketimun)
Model B = teras bangku dng tanaman pangan-tanaman tahunan-rumput
pakan
Model C = guludan dengan tanaman pangan-ranaman tahunan-rumput
pakan-Leguminosae
(pohon)
Model D = teras individu dengan tanaman tahunan-leguminosae penutup
tanah dan
pohon-rumput pakan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa secara keseluruhan, hasil pendapatan
bersih model usaha tani yang diintroduksikan masih lebih besar dari model lama
yang biasa dikerjakan petani. Sedangkan pengaruh rakitan pola usaha tani di
atas terhadap keberhasilan pengendalian erosi telah diteliti oleh Thamrin dkk.
(1993) di Desa Srimulyo Malang dan Desa Sumberkembar Blitar Jawa Timur selama
tahun pengamatan 1986-1991 sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :
Tabel 6. Laju erosi pada berbagai rakitan teknologi konservasi pola
Usaha tani di Desa Srimulyo
Malang.
Musim
Tanam
|
Curah
Hujan
(mm)
|
Laju erosi (ton/ha/th)
Model A Model B Model C Model D
|
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
edp
|
2117
1797
2115
1702
1120
|
34,40 8,00 3,40 1,20
12,40 4,20 2,30 1,10
1,60 1,10 1,10 1,00
1,50 1,00 1,05 0,90
1,30 0,90 0,90 0,90
11,10 10,60 8,60 8,60
|
Tabel 7. Laju erosi pada berbagai rakitan
teknologi konservasi pola
Usaha tani di Desa
Sumberkembar Blitar.
Musim
Tanam
|
Curah
Hujan
(mm)
|
Laju erosi (ton/ha/th)
Model A Model B Model C Model D
|
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
edp
|
1300
1551
2024
2285
2539
|
22,00 15,30 17,10 9,10
25,90 10,40 19,60 32,50
19,70 3,80 6,80 12,00
21,70 3,30 6,30 13,30
20,20 3,20 6,40 11,40
10,60 10,50 8,40 5,20
|
Keterangan : edp =
erosi diperbolehkan.
Laju erosi di kedua lokasi penelitian di
atas menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Di Desa Srimulyo pada umumnya laju
erosi dapat dikendalikan lewat rakitan tekonologi konservasi, sedangkan di Desa
Sumberkembar rakitan yang diterapkan belum mampu menurunkan laju erosi. Hal ini
disebabkan oleh kondisi geofisik ke dua lokasi yang berbeda. Desa Srimulyo
mempunyai curah hujan yang lebih merata sehingga kelangsungan pertumbuhan
tanaman lebih terjamin dan tanahnya berbahan induk tuffa volkan intermedier
yang mempunyai kesuburan cukup tinggi, sedangkan Desa Sumberkembar tanahnya
berbahan induk batuan kapur dari formasi karst yang lebih peka terhadap erosi
dan longsor.
III. Penutup
Pengelolaan lahan kering didasarkan kepada pemilihan pola usahatani yang
dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Kerangka dasar
model pertanian konservasi sebenarnya berupa metoda konservasi secara mekanis
dan vegetatif serta penerapan pola tanam campur (tanaman pangan, tahunan dan
pakan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi) berdasarkan kedalaman solum dan
erodibilitas tanahnya.
Penerapan model pertanian konservasi di kawasan hulu DAS Jratunseluna
Jawa Tengah telah membuktikan bahwa rakitan teknologi konservasi semacam ini
cukup sesuai untuk diterapkan. Walaupun demikian, tetap saja diperlukan
tindakan evaluasi dan beberapa penyempurnaan, terutama pada beberapa areal
kawasan tersebut masih saja terjadi erosi yang melebihi batas ambang yang dapat
diabaikan. Di sisi lain, teknologi
konservasi mekanis memerlukan biaya tinggi dan melihat kondisi sosial ekonomi
petani setempat, tampaknya masih diperlukan introduksi lain yang dapat menekan
pelaksanaannya di lapangan.
Beberapa hal yang mungkin dapat dipertimbangkan penerapannya di kawasan
hulu DAS Jratunseluna antara lain pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum,
pemakaian varietas toleran dan protektif serta pemakaian pupuk hayati.
3.1. Pertanaman lorong.
Dalam sistem pertanaman lorong ini,
tanaman diletakkan dalam barisan yang memotong kelerengan dan jarak antar baris
berkisar antara 4-6 meter. Salah satu tujuan pertanaman lorong adalah
terbentuknya teras secara alami. Pemanfaatan tanaman leguminosae yang mempunyai
perakaran lebat dan pertumbuhan vegetatif yang lebat serta cenderung tahan
terhadap kondisi kekeringan telah banyak dicobakan dalam pertanaman lorong ini.
Guguran daun yang terkumpul di sekitar tanaman akan membentuk sedimen organik
yang berfungsi sebagai tanggul dan dapat menahan partikel-partikel tanah yang terbawa aliran
permukaan. Sedimen partikel-partikel tanah yang terkumpul di sekitar tanaman
ini dalam beberapa musim dapat membentuk
bidang olah yang menyerupai teras dengan tanaman leguminosae sebagai
tampingannya. Dengan cara seperti ini diharapkan dapat mengurangi biaya
pembuatan teras mekanik. Berdasarkan percobaan Rahman dkk. (1990)
pemanfaatan Flemingia yang ditanam secara lorong, setelah 1 tahun telah
terbentuk teras alam setinggi kurang lebih 25 cm.
3.2.
Pengolahan tanah minimum.
Pengolahan tanah yang dilakukan intensif
dapat berakibat pecahnya agregat tanah, dan pada lahan dengan kemiringan cukup
besar akan membuat tanahnya lebih rentan terhadap erosi. Dengan diterapkannya
pola pertanaman ganda, pengolahan tanah dilakukan secara minimum. Pengolahan
dilakukan pada permulaan musim hujan dan dilakukan di sekitar lubang tanam dan
sedalam perakaran yang dibutuhkan. Dengan cara seperti ini diharapkan kerusakan
agregat tanah akibat pengolahan dapat dihindari.
3.3.
Pemakaian varietas tanaman yang toleran dan protektif.
Pemanfaatan tanaman yang toleran berarti
menanam tanaman yang adaptif terhadap kondisi cekaman lingkungan yang kering
atau kondisi lahan marginal pada umumnya terutama kekeringan, kemasaman dan keracunan
Al. Tanaman yang bersifat protektif adalah tanaman yang melindungi tanah dari
dampak erosi atau paling tidak dapat mengurangi massa tanah yang terangkut. Tanaman
yang berdaun lebat dan bertajuk luas dapat mereduksi energi kinetik partikel
hujan dan cenderung melindungi tanah yang berada di bawah tajuk tersebut,
demikian pula dengan perakaran yang menyebar pertumbuhannya akan menjadi
semacam tanggul alam yang dapat mempertahankan stabilitas tanah. Khusus untuk
erosi pada bagian tebing Asdak (2002) menyatakan bahwa peranan vegetasi dalam
mencegah atau mereduksi terjadinya erosi tebing, salah satunya melalui sistem
perakaran vegetasi yang dapat mengikat partikel-partikel tanah dan meningkatkan
laju infiltrasi air ke dalam tanah. Selanjutnya Li dkk. (1999)
menyatakan bahwa metode biologi dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman
dapat mengontrol erosi tanah dan mengurangi kehilangan air dan hara. Berbagai
jenis pohon, semak dan rumput yang memiliki pertumbuhan cepat serta ditanam
secara bersamaan dalam proporsi tertentu akan membentuk tajuk berlapis (multilayer
canopy) yang akhirnya akan mereduksi erosi dan menambah kesuburan tanahnya.
Untuk mengisi populasi semak-semak, Adie (1993) telah mencobakan 14 galur
kedelai F5 pada dua lingkungan lahan kering yang memiliki perbedaan elevasi
yaitu di Jambegede (335 m. Dpl. , tipe iklim C3) dan Mojosari (28 m. dpl., tipe
iklim D3) Jawa Timur yang dilaksanakan
di musim hujan dan musim kemarau. Hasil penelitian mendapatkan 3 genotip
(2680/3034, 3231/Tidar B-2 dan 3188/3034/B-5) yang memiliki adaptasi luas dan
memberikan rata-rata produksi di atas 1,80 ton/ha. Ketiga genotip kedelai ini berpeluang
dikembangkan menjadi varietas unggul untuk lingkungan lahan kering, karena
sumbangan fiksasi nitrogen udara dan potensi hasilnya.
3.4.
Pemakaian pupuk hayati.
Anabaena sp. Adalah salah satu Blue-green
Algae yang mampu berasosiasi di dalam ruang daun paku air Azolla (Watanabe,
1984). Salah satu yang menarik dari asosiasi ini adalah kemampuannya memfiksasi
nitrogen udara (Backing,1979), sebagaimana disampaikan bahwa hasil penelitian
yang dilaksanakan di IRRI Philipina menunjukkan bahwa Azolla mampu memfiksasi
120 kg/ha nitrogen udara dalam waktu 106 hari atau rata-rata 1,10 kg/ha
nitrogen udara per hari. Brotonegoro dan
Abdulkadir (1976) juga melaporkan bahwa Azolla mampu memfiksasi nitrogen udara
sebesar 7,2 gram/berat kering tanaman per hari. Percobaan yang telah dilakukan
Budiyanto dkk. (1993) di areal lahan kering Sawangan Magelang dan Simo
Boyolali Jawa Tengah menunjukkan bahwa pemanfaatan biomasa Azolla mampu
menggantikan sebagian kebutuhan pupuk nitrogen bagi budidaya tomat dan cabai.
Di samping itu juga didapati pula
sianobakteri bebas yang dapat menghasilkan substansi pembentuk agregat tanah.
Jasad mikro ini karena menggunakan matahari sebagai sumber energi, maka
pemanfaatannya sebagai bio-soilconditioner secara luas diharapkan
biayanya dapat bersaing dengan chemical soil conditioner.
Pemanfaatan jasad mikro bagi
kepentingan pupuk hayati lainnya adalah bakteri bintil akar di antaranya Rhizobium
sp. yang berasosiasi simbiotik dengan akar tanaman legum yang mampu
memfiksasi nitrogen udara. Jenis Aktinomisetes yang dapat berasosiasi dengan
tanaman non-legum yang bentuk asosiasinya dikenal dengan Aktinorizas mampu
menginfeksi sel akar tanaman inang (Frankia sp.) dan hidup di dalam
korteks bintil akar. Bintil akar ini dapat dijadikan tambahan sumber nitrogen
dalam tanah (Rao, 1994).
Selain pemanfaatan pupuk hayati di
atas, aplikasi mikoriza yang merupakan bentuk asosiasi simbiotik antara fungi
dengan akar tanaman patut pula dipertimbangkan jika penggunaannya diarahkan
pada lahan-lahan marginal seperti lahan tererosi, tanah masam, lahan kering dan
lahan bekas areal usaha pertambangan. Beberapa keuntungan yang diperoleh
tanaman inang yang berasosiasi dengan mikoriza ini antara lain mampu
meningkatkan efisiensi penyerapan fosfat, serta ketersediaan fosfat menjadi
lebih terjamin, karena pengaruh infeksi mikoriza ini berlangsung selama daur
hidupnya, dan tanaman inang lebih tahan terhadap patogen dan kekeringan. Satu
hal yang menguntungkan dalam aplikasi mikoriza ini adalah bahwa beberapa jenis
cendawan mikoriza asosiasinya bersifat tidak terlalu spesifik, dengan demikian
membuka peluang berasosiasi dengan banyak jenis tanaman sebagai inangnya, baik
Gymnospermae maupun Angiospermae. Oleh karena itu Kabirun (1987) menyatakan
bahwa pemanfaatan mikrobia dapat merupakan satu pilihan dalam usaha
meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah.
Lahan produktif semakin berkurang luasnya,
sehingga lahan kering di Pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah telah menjadi
perhatian para pengambil kebijakan. Di
sisi lain, sebaran lahan kering di Jawa Tengah selalu berdekatan dengan
pemukiman penduduk yang bermata
pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu banyak kebijakan konservasi lahan
kering yang mendasarkan pola kebijakannya kepada pertimbangan ekologi dan
sosial. Pendapat lain juga menyatakan bahwa permasalahan degradasi kualitas
lahan kering merupakan gambaran dari ketidakstabilan dari keseimbangan
dinamis yang muncul di antara
komponen-komponen lahan seperti tanah, topografi, vegetasi, organisme, kondisi
hidrologi di bawah pengaruh kinerja iklim dan kepadatan penduduk di tempat
tersebut. Dari sudut ilmu tanah dan geologi, lahan kering bahkan lebih
dipandang sebagai bagian dari proses alam menuju kepada proses gradasi
permukaan tanah karena pengaruh gaya gravitasi dengan perantaraan utama erosi.
Sedangkan dari sudut agronomi, lahan kering beserta erosi ikutannya
dimaknai sebagai proses penurunan
kesuburan tanah yang akhirnya dapat mengurangi produktifitas lahan. Dengan
demikian paket teknologi konservasi hendaknya disamping mewakili kepentingan
lingkungan juga diupayakan dapat mewakili kepentingan dan peningkatan
kesejahteraan penduduk setempat.
BAHAN BACAAN
Adie Muchlish,M. 1995. Kesesuaian Beberapa Genotip
Kedelai terhadap Musim dan
Elevasi yang berbeda
di Lahan Kering dalam Prosiding
Pengembangan Wilayah lahan Kering. Lembaga Penelitian
Universitas Lampung
: 324-332.
Agus Pakpahan.1993. Apakah Ada Ruang untuk
Meningkatkan Pendapatan Petani
Lahan Kering tanpa Merusak Lingkungan. Risalah
Lokakarya
Pelembagaan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering
Hulu Jratunseluna dan Brantas. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Depertemen Pertanian
RI.:139-148.
Asdak Chay.2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press
:385-387.
Anonim. 1990.
Petunjuk Teknis Usaha Konservasi Daerah
Aliran Sungai. Badan
Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
RI.:3-26.
Anwarudin.M.J., Khaidir, Sukana,E. dan
Hernawan,A.1993. Peluang Pengembangan
Tanaman Sayuran di
Daerah Aliran Sungai Jratunseluna Hulu.
Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian RI.: 155-156.
Company.Mew York :438-439.
Brotonegoro,S.
dan Abdulkadir,S.1976. Growth and Nitrogen Fixing of Activity of
Azolla pinnata.
Annales Bogoriensis 6(2):69-123.
Budiyanto Gunawan, Mulyono,
Irianto dan Triwahyuningsih,N. 1993. Pemanfaatan
Biomassa Azolla
sebagai Sumber Nitrogen Budidaya Tanaman
Semusim. Jurnal
Hasil Penelitian. LP3-M.UMY.(2):15-22.
Haryati,U., Rachman,A. dan
Abdulrachman,A.1990. Aplikasi Mulsa dan Pupuk
Hijau Sonosiso untuk
Pertanaman Jagung pada Tanah Ustorthents di
Gondanglegi. Rísalah Pembahasan Hasil Penelitian
Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi
Tanah. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian. Departemen
Pertanian RI.:1-6.
Huszar,P.C.
1992. Government Incentives for Soil
Conservation. Conservation
Policies for
Suistainable Hillslope Farming. Soil and Water
Conservation Society.Ankeny, Iowa :40-42.
Kabirun,S.1987.
Peranan Mikrobia pada Ketersediaan Fosfor Tanah. Uraian Ilmiah
Penerimaan Jabatan
sebagai Lektor Kepala dalam Mikrobiologi
Fakultas
Pertanian UGM. 28h.
Kedaulatan Rakyat.1995. 14 Mei 1995 tahun L No.219,halaman 1.
Li Huaxing, Zhang Zimming, Chen Xichong dan Lu Weisheng. 1999. Soil
and
Water Conservation Strategies on the Red dan Yellow Soils of South
Conservation
Organization Meeting. Purdue
University : 165-170.
Rahman,A.,
Siwardjo,H., Watung , R.I. dan Sembiring,H. 1989. Efisiensi Teras
Bangku dan Teras Gulud dalam
Pengendalian Erosi. Rísalah Diskusi
Ilmiah dan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan
Konservasi
Daerah Aliran Sungai. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Pertanian. Departemen
RI.: 11-16.
Rachman,A., Watung, R.I. dan Haryati,U.1989. Peranan
Tanaman Penutup Tanah
dalam Pengendalian Erosi Tampingan Teras Bangku
pada Tanah
Latosol Ungaran. Risalah
Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian
Lahan Kering dan
Konservasi di Daerah Aliran Sungai. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
RI.:
3-10.
Rao,N.S.S.1994. Mikroorganisme Tanah dan
Pertumbuhan Tanaman. Diterjemahkan
oleh Herawati Susilo.
Edisi Kedua. Universitas Indonesia
Press.Jakarta: 218-219.
Sasa,J., Ispandi,A., Sembiring,H., Djumali dan
Fagi,A.M. 1988. Pola Tanam
Konservasi DAS
Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah Lokakarya Hasil
Penelitian Pertanian Lahan
Kering dan Konservasi di Daerah Aliran
Sungai. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian RI.:37-42.
Sembiring,H., Thamrin,M., Farid,A., Kartono,G.,
Rachman,A. Dan Sukmana,S.
1989. Pengaruh Bentuk Teras terhadap Erosi dan
Produktifitas Tanah
Aquic Tropudalf di Srimulyo Malang. Risalah Diskusi
Ilmiah Hasil
Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di
Daerah Aliran
Sungai. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian RI.:18-22.
Soemartono. 1989. Teknik Budidaya Lahan Kering
yang Produktif, Stabil,
Terlanjutkan dan Merata. Seminar Budidaya Tanaman Lahan
Kering
dalam Rangka Pembangunan
Berwawasan Lingkungan. Yayasan
Dharma Karya. Yogyakarta.
18 h.
Sri Yuwanti.1993. Kebijakan Pemerintah Daerah
dalam Usaha Peningkatan
Pendapatan Petani di Kawasan Lahan Kering DAS
Jratunseluna.
Risalah Lokakarya Pelembagaan
Penelitian dan Pengembangan Sistem
Usahatani Konservasi di
Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan
Brantas. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian.RI. :188-189.
Thamrin,M., Hendarto,T., Supriadi dan Ispandi,A. 1993.
Penelitian Konservasi
Tanah di Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Risalah
Lokakarya
Pelembagaan Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
Konservasi di Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan Brantas.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Departemen
Pertanian
RI.: 23-27.
Watanabe,I. 1984. Use of Symbiotic and Free-living Bluegreen
Algae in Rice
Culture. Outlook
Agric. 13(4): 166-172.
0 komentar :
Posting Komentar