Selasa, 16 Oktober 2012


PENGELOLAAN LAHAN KERING,
SEBUAH MODEL PERTANIAN KONSERVASI
DI KAWASAN HULU DAS JRATUNSELUNA JAWA TENGAH
Oleh :
GUNAWAN BUDIYANTO


          I.  Pendahuluan.
              Berdasarkan jumlah air yang dilibatkan, lahan budidaya dipilahkan menjadi lahan basah yang sering disebut lowland/wetland serta lahan kering yang sering disamakan dengan upland/dryland. Lahan kering sendiri mempunyai pengertian sebidang lahan dengan keterbatasan sumber air sepanjang tahun dan tidak pernah dalam kondisi tergenang. Keterbatasan sumber air berarti kandungan lengasya (soil moisture content) selalu berada di bawah kadar air kapasitas lapangan. Perbandingan jumlah curah hujan pada saat musim hujan yang tidak dapat mengimbangi kebutuhan air sepanjang tahun (terutama untuk kebutuhan evaporasi dan transpirasi) juga sering digunakan untuk menjelaskan istilah lahan kering.
reazkyalzoen@ymail.com
              Pada umumnya usaha tani lahan kering sering dihubungkan dengan produktifitasnya yang rendah. Salah satu sebabnya adalah ketergantungannya pada curah hujan sebagai satu – satunya sumber air. Di samping itu, lahan kering selalu terdiri dari lahan dengan topografi tidak merata yang mempunyai lereng cukup besar sehingga keberadaan solum tanah atas selalu terusik oleh erosi yang terjadi. Proses erosi dan deforestasi merupakan dua kejadian berkaitan erat yang merupakan penyebab utama terjadinya penurunan produktifitas dan daya dukung lahan di kawasan hulu. Sementara itu, di sisi lain proses sedimentasi dan pendangkalan, banjir, serta penurunan fungsi tanah sebagai lumbung air selalu timbul di kawasan hilir.
              Tarrant,J. dkk. (1987) dalam Huszar (1993) menyatakan bahwa lahan  lahan atasan (upland) di Pulau Jawa terancam memiliki masalah serius yang ditimbulkan oleh erosi, walaupun belum ada cara tepat untuk memonitor aras erosi yang terjadi, diperkirakan rata-rata erosi yang terjadi adalah 10-40 ton/hektar/tahun dan  pada tahun – tahun berikutnya akan semakin meningkat.
               Menurut Doolette dan Margarth (1990) telah terjadi penurunan produktifitas lahan usaha tani sekitar 3,8-4,7% dan hal ini telah mendatangkan kerugian sebesar US$ 315 juta per tahun. Sedangkan kerugian yang terjadi di kawasan hilir diperkirakan mencapai US$ 26-91 juta per tahun. Kerugian tersebut disebabkan oleh terjadinya pendangkalan pada sistem irigasi, pelabuhan dan dam (Agus, 1993).
             Lahan kering di bagian hulu dari suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan satu kesatuan kawasan agroekosistem dari satu atau beberapa aliran sungai yang dimanfaatkan bagi budidaya pertanian dalam kondisi keterbatasan air. Kondisi fisiografi pada umumnya bergelombang sampai berbukit dengan keragaman lereng di beberapa bagian lahannya. Dengan kondisi semacam ini, secara umum lahannya rentan  terhadap erosi dan tanah longsor. Proses ini juga mengakibatkan timbulnya keragaman kedalaman solum tanahnya, dan selanjutnya berpengaruh pada tingkat kesuburan tanah yang ada di tempat tersebut.
             Permasalahan di atas pada umumnya juga ditemukan di areal Daerah Aliran Sungai (DAS) yang tersebar di beberapa ekosistem sungai yang ada di Pulau Jawa. Beberapa kajian dan penelitian guna mendapatkan metode pemanfaatan lahan di kawasan DAS secara produktif dan lestari telah banyak dikembangkan, misalnya DAS Jratunseluna yang ada di Jawa Tengah. Levine (1991)  dalam Anwaruddin dkk. (1993) mencoba membagi lahan kering  DAS Jratunseluna  bagian hulu ke dalam 3 zona agroekosistem, yaitu ’lahan yang berbahan volkanik’, ’lahan sedimen dalam’ dan ’lahan sedimen dangkal’. Lahan berbahan volkanik pada umumnya menyebar di kaki-kaki pegunungan dengan ketebalan solum 100 cm atau lebih dengan kemiringan  lahan bervariasi  antara 15-70% dengan tinggi tempat berkisar antara  200-1.000 meter di atas permukaan laut, curah hujan cukup tinggi yaitu 2.500-4.000 mm per tahun serta dengan musim kemarau ringan sampai sedang. Jenis lahan ini banyak ditemukan  di Kabupaten Semarang dan sebagian kecil kabupaten Boyolali. Lahan sedimen dalam  banyak terhampar di daerah agak datar di kabupaten Semarang dan Boyolali, Kecamatan Toroh di Kabupaten Grobogan dan Kecamatan Jepon Kabupaten Blora. Ketebalan solum tanahnya berkisar antara 50-100 cm dengan kemiringan lahan berkisar antara 10-30%, ketinggian tempat 100 – 300 meter di atas permukaan laut, curah hujan berkisar 2.000-2.500 mm per tahun dengan musim kemarau sedang sampai berat. Lahan sedimen dangkal  ditemukan pada lereng-lereng yang curam atau pada lahan-;pahan yang kurang stabil karena longsor yang selalu terjadi. Ketebalan solum tanahnya kurang dari 50 cm., dengan kemiringan antara 10-40%, tinggi tempat bervariasi antara 40-200 meter di atas permukaan laut, curah hujan berkisar antara 1.800-2.200 mm. per tahun, dengan musim kemarau umumnya berat. Lahan semacam ini banyak ditemukan di Kecamatan Wonosegoro, Klego dan Andong Kabupaten Boyolali, Kecamatan Todanan di Kabupaten Blora, serta sebagian besar di Kabupaten Grobogan.
              DAS Jratunseluna merupakan kawasan yang meliputi 5 aliran sungai Jragung, Tuntang, Serang, Lusi dan Juana yang berada dalam 3 kawasan karesidenan Semarang, Pati dan Surakarta. Menurut Sri Yuwanti (1993) kawasan DAS Jratunseluna sebetulnya meliputi 9 Daerah Tingkat II, yaitu Kabupten Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara, Boyolali dan Sragen. Selanjutnya disampaikan bahwa DAS Jratunseluna terbagi atas 2 bagian utama, yaitu bagian hulu seluas 4.986 km2 atau 63% luas keseluruhan, dan bagian hilir  seluas 2.913 km2 atau 37% luas keseluruhan. Erosi dan sedimentasi  dapat terjadi terus menerus karena daerah tangkapan kurang dikelola dengan baik dan curah hujan cukup tinggi yaitu antara 1.750-2.720 mm. per tahun. Kondisi semacam ini menimbulkan  erosi sebesar 1-1,5 mm. per tahun, dan menimbulkan  pendangkalan cukup parah di kawasan hilirnya. Proses yang berlanjut terus dan berkesinambungan  dari tahun ke tahun yang menimbulkan sebaran lahan kritis sebagaimana tabel di bawah ini :





 Tabel 1. Luas Lahan Kritis di Kawasan DAS Jratunseluna Jawa Tengah
Kawasan DAS
Luas Lahan Kritis (ha)
Lokasi
Serang

Lusi
Tuntang/Jragung
Juana
  38.760

  30.000
  30.000
  31.768
Sebagian Kab. Semarang, Boyolali, Sragen, Grobogan dan Jepara.
Sebagian Kab. Blora dan Grobogan
Sebagian Kab. Semarang dan Demak
Sebagian Kab. Kudus dan Pati
Jumlah
130.428

Sumber : Bappeda Jateng, 1985 dalam Sri Yuwanti,1993
            Kondisi ini setiap tahunnya menimbulkan banjir di kawasan hilir dengan kerusakan total rata-rata seluas 30.000-85.000 hektar. Pada tahun 1995 dilaporkan  meluapnya Sungai Tuntang dan melanda sebagian Kabupaten Grobogan. Hal ini terjadi lantaran hujan selama beberapa hari di kawasan hulu (Kedaulatan Rakyat, 1995).
      
      II.  Model Pertanian Konservasi
            Lahan kering di daerah aliran sungai sebagian besar merupakan hamparan tanah kritis yang mengalami degradasi  karena pengangkutan massa tanah, pencucian hara dan pengangkutan hara oleh hasil tanaman. Bahan organik yang merupakan salah satu bahan pembenah tanah (soil conditioner)  dalam perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah biasanya ikut pula tercuci (Haryati, dkk.,1990) Kelerengan yang cukup curam menyebabkan penipisan solum tanah, ditambah dengan berbagai proses di atas secara kait mengait ikut pula menurunkan produktifitas lahan.
             Model pertanian konservasi  yang diterapkan di atas lahan-lahan kering di daerah aliran sungai  ditujukan pada dua masalah utama yakni upaya intensifikasi dan konservasi lahan. Intensifikasi berupaya membudidayakan lahan kering yang melibatkan  upaya-upaya peningkatan kualitas tata cara budidaya. Sedangkan konservasi lahan dalam satu paket teknologi pertanian yang dapat berlangsung secara produktif, stabil dan berkesinambungan.
           Mempertimbangkan beberapa permasalahan yang ada, maka pengelolaan lahan kering di daerah aliran sungai menitikberatkan pada tara cara pengatasan masalah yang ditimbulkan oleh adanya 1) kemiringan lahan dan berbagai kemungkinan akibat negatif ikutannya, dan 2) ketidakmampuan tanahnya berfungsi sebagai lumbung air serta kemiskinan  bahan organik dan keharaan.  Mengatasi permasalahan lahan kering berserta kemungkinan pemanfaatannya akhirnya akan sampai kepada terciptanya pola tanam konservasi yang cocok untuk lahan tersebut. Dengan demikian sistem usaha tani konservasi  yang diterapkan hendaknya menggunakan pendekatan terpadu dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian sebaik-baiknya di atas lahan kritis atau marginal agar lebih produktif dan  lestari potensinya tanpa melupakan kaidah keterkaitan yang saling mendukung dan menguntungkan antar komponen lahan.

             2.1. Kemiringan lahan dan berbagai kemungkinan akibat negatif ikutannya.
         Masalah yang timbul akibat  adanya berbagai tingkat kemiringan lahan     adalah aliran limpas permukaan (run off) dan terangkutnya massa tanah (erosi) beserta potensi keharaan. Pembuatan teras bertujuan  mengurangi panjang lereng serta pada akhirnya mengurangi kecepatan aliran limpas permukaan. Berbagai macam bentuk perlakuan mekanis disajikan dalam gambar 1. Terdapat suatu hubungan  antara tingkat kemiringan dengan perlakuan bentuk permukaan tanah  guna mengurangi laju aliran limpas ini, mulai dari sekadar membuat guludan (gundukan memanjang) sampai berbagai bentuk  teras yang harus diterapkan. Selanjutnya  dinyatakan oleh Rahman dkk. (1989) bahwa penerapan teknik konservasi tanah selayaknya mempertimbangkan  3 hal yaitu curah hujan yang sering terjadi, kondisi lahan yang meliputi kemiringan, ketebalan solum dan sifat-sifat tanah, serta kemampuan petani setempat untuk mengadopsi baik menyangkut biaya, waktu dan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga petani.
      Pemilihan teknik konservasi mekanik yang diterapkan di daerah aliran sungai ditetapkan berdasarkan kemiringan lahan, solum tanah dan kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas). Beberapa percobaan yang telah dilaksanakan di daerah tersebut didapatkan suatu gambaran bahwasanya konservasi mekanik dalam bentuk pembuatan guludan dan teras bangku merupakan teknik konservasi yang lebih sesuai. Konstruksi guludan lebih cocok diterapkan di atas lahan dengan kemiringan kurang dari 15% baik yang bersolum dangkal maupun dalam yang ditanami tanaman pangan (Anonim, 1990). Sedangkan menurut pendapat Soemartono (1989) kemiringan lahan kurang dari 5% cukup dibuat guludan yang diperkuat dengan penanaman berbagai jenis rumput pakan ternak yang ditanam dalam jarak agak lebar serta tanaman penguat seperti lamtoro, turi ataupun Gliceride.

     Melihat potensi  masalah sosial di DAS Jratunseluna yang pada umumnya berdekatan dengan pemukiman penduduk, pendapat di atas harus dikaji ulang, karena penanaman rumput pakan ternak justru dapat menimbulkan masalah pencurian rumput oleh penduduk setempat yang pada umumnya banyak memelihara ternak. Oleh karena itu perlu dicari  jenis rumput yang mudah tumbuh dengan perakaran serabut dalam dan cenderung tidak disukai ternak. Tanaman koro benguk (Mucuna sp.) merupakan contoh jenis tanaman yang cenderung tidak disukai ternak, tetapi dapat dijadikan sumber gizi manusia. Lebih lanjut Anonim (1990) menyatakan bahwa guludan ini berfungsi untuk  memperpendek panjang lereng, mengurangi terjadinya erosi permukaan dan alur,mencegah timbulnya erosi parit, dan meningkatkat laju infiltrasi air ke dalam tanah.





                    Gambar 1. Berbagai macam bentuk guludan dan teras.
               Teras bangku dapat diterapkan  di atas lahan dengan kemiringan 10-30%, bersolum dalam. Teras bangku ini sebaiknya tidak diterapkan di atas lahan dengan tanah bersolum dalam yang berpotensi keracunan Aluminium terutama jenis tanah Podsolik Merah Kuning dan Latosol tua, serta tanah-tanah yang mudah longsor. Hal ini diperkuat oleh pendapat Suwarjo dkk. (1984) dalam Rahman dkk. (1989) yang menegaskan walaupun teras bangku hanya sesuai untuk tanah yang bersolum dalam dengan bahan induk volkan, tetapi pada tanah yang bersolum dangkal, atau yang bersolum dalam dengan resiko keracunan Al dan Fe dapat berakibat jelek kepada tanaman. Macam teras bangku yang dapat diterapkan untuk lahan semacam ini adalah teras bangku datar, teras bangku miring kedalam ataupun teras irigasi.
      Secara umum teras bangku ini mempunyai fungsi memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran limpas dengan kekuatan yang tidak merusak dan meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam tanah. Lebih lanjut Soemartono (1989) menyatakan jika kemiringan lahan berkisar antara 8-15%, sebaiknya dibuat konstruksi teras bangku yang dilengkapi dengan saluran pembuang, yang memudahkan pengaliran air limpasan secara terkendali.
         Hasil pengamatan selama 9 bulan dalam  penelitian yang dikerjakan oleh Sembiring  dkk. (1989) di Srimulyo Malang membuktikan bahwa penerapan bentuk-bentuk konservasi mekanis terbukti dapat mengurangi besarnya erosi yang terjadi sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :

                    Tabel 2. Erosi pada berbagai bentuk teras.
Macam Teras
Erosi (ton/ha.)
-tanpa teras
-guludan
teras kredit
-teras bangku miring
-teras bangku datar
9,9
3,6
2,9
2,0
1,5

         Tabel 2 memperlihatkan bahwasanya teras bangku datar merupakan perlakuan konservasi tanah yang paling efektif dalam menurunkan laju erosi  dibanding  dengan tindakan konservasi lainnya. Pengamatan yang dilakukan di lapangan membuktikan bahwa teras bangku lebih stabil dan paling sedikit mengalami perubahan bentuk, hal ini diduga karena infiltrasi tanahnya yang lebih baik, keseragaman profil tanah lebih terjaga, serta dengan kedalaman tanah yang cukup dalam mampu menurunkan potensi longsor.

2.2. Ketidakmampuan tanah berfungsi sebagai lumbung air, kemiskinan
       bahan  organik dan keharaan.
       Kehilangan air lewat aliran pemukaan  (run off) dan evaporasi merupakan dua hal yang paling umum terjadi di atas lahan kering. Keadaan ini menyebabkan kandungan air yang tersisa di dalam tanah selalu berada di bawah kandungan air kapasitas lapangan. Kelerengan yang dimiliki lahan kering merupakan penyebab utama  proses infiltrasi ai lebih kecil dibanding aliran permukaan yang menuruni lerengnya.  Di sisi lain proses yang selalu terjadi berakibat terangkutnya massa tanah ke tempat yang lebih rendah. Kehilangan massa tanah ini juga berarti hilangnya kandungan bahan organik dan fungsi tanah sebagai lumbung air (water reservoir).   
        Pengembalian sisa-sisa tanaman ke dalam tanah dengan cara memasukkan bahan organik dari luar lahan merupakan cara praktis untuk mengatasi masalah kualitas tanah, tetapi melihat luasan lahan yang ada, nampaknya cara ini justru menimbulkan masalah ikutan baik teknis penyedaan bahan maupun transportasi.  Pembenaman bahan organik ke dalam tanah sebagai upaya meningkatkan kemampuan tanah mengikat air, serta pemulsaan menggunakan sisa-sisa tanaman telah pula diketahui dapat menurunkan laju evaporasi. Penambahan bahan organik ke dalam tanah juga dapat meningkatkan kualitas sifat fisik tanah terutama dapat meningkatkan kemampuan tanahnya untuk melawan gaya erosi  (menurunkan erodibilitas tanah). Sebagaimana disampaikan oleh Brady,N.C. (1990) bahwa kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah sangat dipengaruhi oleh stabilitas agregat tanah, dengan demikian ada hubungan signifikan antara stabilitas agregat tanah dengan peningkatan kapasitas infiltrasi air serta penurunan nilai erodibilitas tanah terutama di dalam horison atas.  Oleh karena itu penanganan masalah ini dititikberatkan kepada kemampuan lahan yang bersangkutan  dalam menyediakan sendiri materi bahan organik yang akan dibutuhkan. Penerapan yang paling efisien adakah penanaman rumput-rumputan dan tanaman lain yang sekaligus mempunyai manfaat ganda, disamping secara mekanis memberikan dampak positif baik sebagai  bahan mulsa, juga berfungsi sebagai sumber hara dalam bentuk pupuk organik (hijau), dalam hal ini tanaman leguminosae sangat dianjurkan. Praktek ini disamping terbukti dapat mengurangi laju erosi dan aliran permukan, juga secara nyata berfungsi pula sebagai pelindung teras dan tebing (tampingan) teras. Rahman dkk. (1989) dalam hal ini telah melakukan pengujian peranan tanaman penutup tanah dalam pengendalian erosi tampingan teras bangku di tanah Latosol Ungaran Jawa Tengah. Jenis rumput yang digunakan sebagai penutup tanah adalah Pennisetum purpureum, Branchiaria brizantha, Branchia ruziziensis, Pueraria javanica dan Centrosoma pubescens yang disusun dalam perlakuan:
-     V0 = tanpa tanaman penutup
      -     V1 = Pennisetum purpureum
      -     V2 = Pennisetum purpureum dan Branchia brizantha dalam strip
      -     V3 = Pennisetum purpureum dan Branchia ruziziensis dalam strip
      -     V4 = Pennisetum purpureum dan Pueraria javanica dalam strip
      -     V5 = Pennisetum purpureum dan Centrosoma pubescens dalam strip




      Hasil pengujian selama 4 bulan pertama disajikan dalam tabel berikut :
  
      Tabel 3. Pengaruh tanaman penutup tanah terhadap erosi dan aliran
                    Permukaan yang terjadi pada tampingan teras bangku.
Perlakuan
Erosi (ton/ha)
Bentuk tampingan
      Tegak             Miring
Aliran Permukaan (m3/ha)
Bentuk tampingan
     Tegak                 Miring
V0
V1
V2
V3
V4
V5
        1,32                 1,68
        1,03                 1,14
        0,88                 0,83
        0,97                 0,72
        1,05                 0,72
        1,03                 1,54
       73,3                     58,6
       12,3                     36,7
       33,8                     25,9
       16,5                     16,5
       37,9                     29,3
       55,7                     50,7

       Pada bentuk tampingan tegak perlakuan V2 mempunyai pengaruh paling baik dalam menurunkan laju erosi yang terjadi. Sedangkan perlakuan V1 paling baik dalam menghambat laju aliran permukaan. Pada bentuk tampingan miring perlakuan V3 dan V4 mampu menurunkan erosi yang terjadi. Sedangkan perlakuan V3 paling baik dalam menghambat laju aliran permukaan. Dari data di atas tampaknya laju aliran permukaan paling rendah belum tentu menghasilkan erosi paling kecil. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tipe pertumbuhan tanaman penutup tanah dan sistem perakarannya, dengan demikian efek penutupannya  dan kemampuan mempertahankan stabilitas agregat yang terikat dalam sistem perakarannya juga berbeda. Rumput dengan tipe pertumbuhan tegak yang ditanam dalam strip dengan rumput tipe pertumbuhan merambat nampaknya cenderung lebih baik dibanding strip antara rumput tipe pertumbuhan tegak dan tanaman legum yang tumbuh merambat.
        Banyak pendapat yang menyatakan bahwa bahan organik merupakan kunci produktifitas lahan. Kandungan bahan organik dalam tanah memberikan dampak perbaikan sifat fisik tanah, terutama suasana keporian dan kemampuan tanah dalam menyimpan air lantaran koloid bahan organik yang bersifat hidrofilik. Dampak lain yang menguntungkan  adalah kemampuan bahan organik sebagai sumber hara tanaman, juga mempengaruhi situasi  oksidoreduksi dan reaksi pertukaran ion dalam tanah.
        Dalam konsep model pertanian konservasi, tujuan konservasi bahan organik dalam tanah disamping mengharapkan dampak positif di atas, adalah terciptanya kualitas agregat tanah  agar lebih tahan terhadap gaya dispersi  air, serta kesudahannya diharapkan dapat menurunkan erodibilitas tanahnya. Pemanfaatan dan upaya mempertahankan  kandungan bahan organik dalam tanah di lahan kering dititikberatkan pada pemanfaatan dan penanaman tanaman yang tidak membutuhkan persyaratan tertentu dalam pembudidayaannya dan mampu beradaptasi dengan kualitas lahan yang rendah, serta sekaligus mampu berfungsi sebagai sumber pupuk hijau dan bahan mulsa. Selama masa konservasi berlangsung dan agar lahan segera dapat diambil hasilnya, jenis pertanaman yang dianjurkan adalah pertanaman ganda yang terdiri dari tanaman pakan (rumput), tanaman pangan dan tanaman tahunan. Dengan demikian rancangan pola usaha tani yang diterapkan diarahkan kepada pemanfaatan komoditi yang mampu memberikan penghasilan cukup tinggi dan sekaligus dapat mengendalikan erosi. Perbandingan antara tanaman pangan dan tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan diatur sebagai berikut :
          Tabel 4. Proporsi tanaman pangan dan tahunan berdasar kemiringan lahan.
Kemiringan (%)
Proporsi tanaman
<15
15-30
30-45
>45
75% tanaman pangan dan 25% tanaman tahunan
50% tanaman pangan dan 50% tanaman tahunan
25% tanaman pangan dan 75% tanaman tahunan
100% tanaman tahunan
          Sumber : Anonim (1990)                                                                                        
         Percobaan yang telah dilakukan oleh Sasa dkk.(1988) di Desa Kandangan yang masuk dalam subDAS Tuntang dan Desa Klari yang masuk dalam subDAS Serang dengan merakit pola tanam sejenis berdasarkan kemiringan lahan, kedalaman solum dan kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas) dapat disimak dalam tabel berikut :
        Tabel 5. Proporsi tanaman pangan dan tahunan berdasar kemiringan lahan.
Kemiringan
(%)
Kedalaman solum, cm
         <40                          40-90                           >90
                                    Erodibilitas
rendah    tinggi        rendah      tinggi       rendah     tinggi
<15
15-30
30-45
>45
    C            C                B             B               B            B
    C            C                B             C               B            B
    C            D                C             C               B            C
    D            D                D             D              D            D
                 Keterangan :
         Model A = pola uaha tani yang dilakukan petani seempat, sebagai
                            pembanding
                            ditanam dalam pergiliran dan sebagian tumpangsari, yaitu :
                            (kacang tanah-jagung-ubi kayu-kacang tanah)
                            (kacang tanah-jagung-ubi kayu-cabai)
                            (kacang tanah-jagung-ubi kayu-ketimun)
         Model B = teras bangku dng tanaman pangan-tanaman tahunan-rumput
                            pakan
         Model C = guludan dengan tanaman pangan-ranaman tahunan-rumput                 
                            pakan-Leguminosae (pohon)
         Model D = teras individu dengan tanaman tahunan-leguminosae penutup
                            tanah dan pohon-rumput pakan.

          Hasil percobaan menunjukkan bahwa secara keseluruhan, hasil pendapatan bersih model usaha tani yang diintroduksikan masih lebih besar dari model lama yang biasa dikerjakan petani. Sedangkan pengaruh rakitan pola usaha tani di atas terhadap keberhasilan pengendalian erosi telah diteliti oleh Thamrin dkk. (1993) di Desa Srimulyo Malang dan Desa Sumberkembar Blitar Jawa Timur selama tahun pengamatan 1986-1991 sebagaimana tersaji dalam tabel berikut :







            Tabel 6. Laju erosi pada berbagai rakitan teknologi konservasi pola
                          Usaha tani di Desa Srimulyo Malang.
Musim
Tanam
Curah
Hujan
(mm)
Laju erosi (ton/ha/th)

Model A     Model B     Model C     Model D
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
edp
2117
1797
2115
1702
1120

34,40              8,00            3,40            1,20
12,40              4,20            2,30            1,10
  1,60              1,10            1,10            1,00
  1,50              1,00            1,05            0,90
  1,30              0,90            0,90            0,90
11,10            10,60            8,60            8,60



           Tabel 7. Laju erosi pada berbagai rakitan teknologi konservasi pola
                          Usaha tani di Desa Sumberkembar Blitar.
Musim
Tanam
Curah
Hujan
(mm)
Laju erosi (ton/ha/th)

Model A     Model B     Model C     Model D
1986/87
1987/88
1988/89
1989/90
1990/91
edp
1300
1551
2024
2285
2539

 22,00          15,30           17,10           9,10
 25,90          10,40           19,60         32,50
 19,70            3,80             6,80         12,00
 21,70            3,30             6,30         13,30
 20,20            3,20             6,40         11,40
 10,60         10,50              8,40           5,20
                  Keterangan : edp = erosi diperbolehkan.

      Laju erosi di kedua lokasi penelitian di atas menunjukkan kecenderungan yang berbeda. Di Desa Srimulyo pada umumnya laju erosi dapat dikendalikan lewat rakitan tekonologi konservasi, sedangkan di Desa Sumberkembar rakitan yang diterapkan belum mampu menurunkan laju erosi. Hal ini disebabkan oleh kondisi geofisik ke dua lokasi yang berbeda. Desa Srimulyo mempunyai curah hujan yang lebih merata sehingga kelangsungan pertumbuhan tanaman lebih terjamin dan tanahnya berbahan induk tuffa volkan intermedier yang mempunyai kesuburan cukup tinggi, sedangkan Desa Sumberkembar tanahnya berbahan induk batuan kapur dari formasi karst yang lebih peka terhadap erosi dan longsor.

    III.  Penutup
           Pengelolaan lahan kering didasarkan kepada pemilihan pola usahatani yang dapat mengendalikan erosi dan meningkatkan pendapatan petani. Kerangka dasar model pertanian konservasi sebenarnya berupa metoda konservasi secara mekanis dan vegetatif serta penerapan pola tanam campur (tanaman pangan, tahunan dan pakan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi) berdasarkan kedalaman solum dan erodibilitas tanahnya.
          Penerapan model pertanian konservasi di kawasan hulu DAS Jratunseluna Jawa Tengah telah membuktikan bahwa rakitan teknologi konservasi semacam ini cukup sesuai untuk diterapkan. Walaupun demikian, tetap saja diperlukan tindakan evaluasi dan beberapa penyempurnaan, terutama pada beberapa areal kawasan tersebut masih saja terjadi erosi yang melebihi batas ambang yang dapat diabaikan.  Di sisi lain, teknologi konservasi mekanis memerlukan biaya tinggi dan melihat kondisi sosial ekonomi petani setempat, tampaknya masih diperlukan introduksi lain yang dapat menekan pelaksanaannya di lapangan.
           Beberapa hal yang mungkin dapat dipertimbangkan penerapannya di kawasan hulu DAS Jratunseluna antara lain pertanaman lorong, pengolahan tanah minimum, pemakaian varietas toleran dan protektif serta pemakaian pupuk hayati.

               3.1. Pertanaman lorong.
        Dalam sistem pertanaman lorong ini, tanaman diletakkan dalam barisan yang memotong kelerengan dan jarak antar baris berkisar antara 4-6 meter. Salah satu tujuan pertanaman lorong adalah terbentuknya teras secara alami. Pemanfaatan tanaman leguminosae yang mempunyai perakaran lebat dan pertumbuhan vegetatif yang lebat serta cenderung tahan terhadap kondisi kekeringan telah banyak dicobakan dalam pertanaman lorong ini. Guguran daun yang terkumpul di sekitar tanaman akan membentuk sedimen organik yang berfungsi sebagai tanggul dan dapat menahan  partikel-partikel tanah yang terbawa aliran permukaan. Sedimen partikel-partikel tanah yang terkumpul di sekitar tanaman ini  dalam beberapa musim dapat membentuk bidang olah yang menyerupai teras dengan tanaman leguminosae sebagai tampingannya. Dengan cara seperti ini diharapkan dapat mengurangi biaya pembuatan teras mekanik. Berdasarkan percobaan Rahman dkk. (1990) pemanfaatan Flemingia yang ditanam secara lorong, setelah 1 tahun telah terbentuk teras alam setinggi kurang lebih 25 cm.

3.2. Pengolahan tanah minimum.
       Pengolahan tanah yang dilakukan intensif dapat berakibat pecahnya agregat tanah, dan pada lahan dengan kemiringan cukup besar akan membuat tanahnya lebih rentan terhadap erosi. Dengan diterapkannya pola pertanaman ganda, pengolahan tanah dilakukan secara minimum. Pengolahan dilakukan pada permulaan musim hujan dan dilakukan di sekitar lubang tanam dan sedalam perakaran yang dibutuhkan. Dengan cara seperti ini diharapkan kerusakan agregat tanah akibat pengolahan dapat dihindari.

3.3. Pemakaian varietas tanaman yang toleran dan protektif.
       Pemanfaatan tanaman yang toleran berarti menanam tanaman yang adaptif terhadap kondisi cekaman lingkungan yang kering atau kondisi lahan marginal pada umumnya terutama kekeringan, kemasaman dan keracunan Al. Tanaman yang bersifat protektif adalah tanaman yang melindungi tanah dari dampak erosi atau paling tidak dapat mengurangi massa tanah yang terangkut. Tanaman yang berdaun lebat dan bertajuk luas dapat mereduksi energi kinetik partikel hujan dan cenderung melindungi tanah yang berada di bawah tajuk tersebut, demikian pula dengan perakaran yang menyebar pertumbuhannya akan menjadi semacam tanggul alam yang dapat mempertahankan stabilitas tanah. Khusus untuk erosi pada bagian tebing Asdak (2002) menyatakan bahwa peranan vegetasi dalam mencegah atau mereduksi terjadinya erosi tebing, salah satunya melalui sistem perakaran vegetasi yang dapat mengikat partikel-partikel tanah dan meningkatkan laju infiltrasi air ke dalam tanah. Selanjutnya Li dkk. (1999) menyatakan bahwa metode biologi dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman dapat mengontrol erosi tanah dan mengurangi kehilangan air dan hara. Berbagai jenis pohon, semak dan rumput yang memiliki pertumbuhan cepat serta ditanam secara bersamaan dalam proporsi tertentu akan membentuk tajuk berlapis (multilayer canopy) yang akhirnya akan mereduksi erosi dan menambah kesuburan tanahnya. Untuk mengisi populasi semak-semak, Adie (1993) telah mencobakan 14 galur kedelai F5 pada dua lingkungan lahan kering yang memiliki perbedaan elevasi yaitu di Jambegede (335 m. Dpl. , tipe iklim C3) dan Mojosari (28 m. dpl., tipe iklim D3)  Jawa Timur yang dilaksanakan di musim hujan dan musim kemarau. Hasil penelitian mendapatkan 3 genotip (2680/3034, 3231/Tidar B-2 dan 3188/3034/B-5) yang memiliki adaptasi luas dan memberikan rata-rata produksi di atas 1,80 ton/ha.  Ketiga genotip kedelai ini berpeluang dikembangkan menjadi varietas unggul untuk lingkungan lahan kering, karena sumbangan fiksasi nitrogen udara dan potensi hasilnya.

3.4. Pemakaian pupuk hayati.
       Anabaena sp. Adalah salah satu Blue-green Algae yang mampu berasosiasi di dalam ruang daun paku air Azolla (Watanabe, 1984). Salah satu yang menarik dari asosiasi ini adalah kemampuannya memfiksasi nitrogen udara (Backing,1979), sebagaimana disampaikan bahwa hasil penelitian yang dilaksanakan di IRRI Philipina menunjukkan bahwa Azolla mampu memfiksasi 120 kg/ha nitrogen udara dalam waktu 106 hari atau rata-rata 1,10 kg/ha nitrogen udara per hari.  Brotonegoro dan Abdulkadir (1976) juga melaporkan bahwa Azolla mampu memfiksasi nitrogen udara sebesar 7,2 gram/berat kering tanaman per hari. Percobaan yang telah dilakukan Budiyanto dkk. (1993) di areal lahan kering Sawangan Magelang dan Simo Boyolali Jawa Tengah menunjukkan bahwa pemanfaatan biomasa Azolla mampu menggantikan sebagian kebutuhan pupuk nitrogen bagi budidaya tomat dan cabai.
        Di samping itu juga didapati pula sianobakteri bebas yang dapat menghasilkan substansi pembentuk agregat tanah. Jasad mikro ini karena menggunakan matahari sebagai sumber energi, maka pemanfaatannya sebagai bio-soilconditioner secara luas diharapkan biayanya dapat bersaing dengan chemical soil conditioner.
         Pemanfaatan jasad mikro bagi kepentingan pupuk hayati lainnya adalah bakteri bintil akar di antaranya Rhizobium sp. yang berasosiasi simbiotik dengan akar tanaman legum yang mampu memfiksasi nitrogen udara. Jenis Aktinomisetes yang dapat berasosiasi dengan tanaman non-legum yang bentuk asosiasinya dikenal dengan Aktinorizas mampu menginfeksi sel akar tanaman inang (Frankia sp.) dan hidup di dalam korteks bintil akar. Bintil akar ini dapat dijadikan tambahan sumber nitrogen dalam tanah (Rao, 1994).
        Selain pemanfaatan pupuk hayati di atas, aplikasi mikoriza yang merupakan bentuk asosiasi simbiotik antara fungi dengan akar tanaman patut pula dipertimbangkan jika penggunaannya diarahkan pada lahan-lahan marginal seperti lahan tererosi, tanah masam, lahan kering dan lahan bekas areal usaha pertambangan. Beberapa keuntungan yang diperoleh tanaman inang yang berasosiasi dengan mikoriza ini antara lain mampu meningkatkan efisiensi penyerapan fosfat, serta ketersediaan fosfat menjadi lebih terjamin, karena pengaruh infeksi mikoriza ini berlangsung selama daur hidupnya, dan tanaman inang lebih tahan terhadap patogen dan kekeringan. Satu hal yang menguntungkan dalam aplikasi mikoriza ini adalah bahwa beberapa jenis cendawan mikoriza asosiasinya bersifat tidak terlalu spesifik, dengan demikian membuka peluang berasosiasi dengan banyak jenis tanaman sebagai inangnya, baik Gymnospermae maupun Angiospermae. Oleh karena itu Kabirun (1987) menyatakan bahwa pemanfaatan mikrobia dapat merupakan satu pilihan dalam usaha meningkatkan ketersediaan fosfat dalam tanah.
         

 Lahan produktif semakin berkurang luasnya, sehingga lahan kering di Pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah telah menjadi perhatian para pengambil kebijakan.  Di sisi lain, sebaran lahan kering di Jawa Tengah selalu berdekatan dengan pemukiman penduduk yang  bermata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu banyak kebijakan konservasi lahan kering yang mendasarkan pola kebijakannya kepada pertimbangan ekologi dan sosial. Pendapat lain juga menyatakan bahwa permasalahan degradasi kualitas lahan kering merupakan gambaran dari ketidakstabilan dari keseimbangan dinamis  yang muncul di antara komponen-komponen lahan seperti tanah, topografi, vegetasi, organisme, kondisi hidrologi di bawah pengaruh kinerja iklim dan kepadatan penduduk di tempat tersebut. Dari sudut ilmu tanah dan geologi, lahan kering bahkan lebih dipandang sebagai bagian dari proses alam menuju kepada proses gradasi permukaan tanah karena pengaruh gaya gravitasi dengan perantaraan utama erosi. Sedangkan dari sudut agronomi, lahan kering beserta erosi ikutannya dimaknai  sebagai proses penurunan kesuburan tanah yang akhirnya dapat mengurangi produktifitas lahan. Dengan demikian paket teknologi konservasi hendaknya disamping mewakili kepentingan lingkungan juga diupayakan dapat mewakili kepentingan dan peningkatan kesejahteraan penduduk setempat.




BAHAN BACAAN
Adie Muchlish,M. 1995. Kesesuaian Beberapa Genotip Kedelai terhadap Musim dan
                           Elevasi yang berbeda di Lahan Kering dalam Prosiding
                           Pengembangan  Wilayah lahan Kering. Lembaga Penelitian
                           Universitas Lampung : 324-332.

Agus Pakpahan.1993. Apakah Ada Ruang untuk Meningkatkan Pendapatan Petani  
                           Lahan  Kering tanpa Merusak Lingkungan. Risalah Lokakarya
                           Pelembagaan   Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
                           Konservasi di Lahan Kering Hulu Jratunseluna dan Brantas. Badan   
                           Penelitian dan  Pengembangan Pertanian. Depertemen Pertanian
                           RI.:139-148.

Asdak Chay.2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
                          University Press :385-387.

Anonim.  1990.  Petunjuk Teknis Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai. Badan
                          Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
                          RI.:3-26.

Anwarudin.M.J., Khaidir, Sukana,E. dan Hernawan,A.1993. Peluang Pengembangan
                          Tanaman Sayuran di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna Hulu.
                           Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen 
                           Pertanian RI.:   155-156.

Brady,N.C. 1990. The Nature and Properties of Soils.10th-ed.Macmillan Publishing
                           Company.Mew York :438-439.

Brotonegoro,S. dan Abdulkadir,S.1976. Growth and Nitrogen Fixing of Activity of
                           Azolla pinnata. Annales Bogoriensis 6(2):69-123.

Budiyanto Gunawan, Mulyono, Irianto dan Triwahyuningsih,N. 1993. Pemanfaatan
                           Biomassa Azolla sebagai Sumber Nitrogen Budidaya Tanaman
                           Semusim. Jurnal Hasil Penelitian. LP3-M.UMY.(2):15-22.

Haryati,U., Rachman,A. dan Abdulrachman,A.1990. Aplikasi Mulsa dan Pupuk
                          Hijau Sonosiso untuk Pertanaman Jagung pada Tanah Ustorthents di
                          Gondanglegi. Rísalah Pembahasan Hasil Penelitian Pertanian Lahan  
                          Kering dan Konservasi Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan
                          Pertanian. Departemen Pertanian RI.:1-6.

Huszar,P.C. 1992. Government  Incentives for Soil Conservation. Conservation
                         Policies   for Suistainable Hillslope Farming. Soil and Water
                         Conservation  Society.Ankeny, Iowa :40-42.

Kabirun,S.1987. Peranan Mikrobia pada Ketersediaan Fosfor Tanah. Uraian Ilmiah
                         Penerimaan Jabatan sebagai Lektor Kepala dalam Mikrobiologi
                         Fakultas  Pertanian UGM. 28h.

Kedaulatan Rakyat.1995. 14 Mei 1995 tahun L No.219,halaman 1.

Li Huaxing, Zhang Zimming,  Chen Xichong dan Lu Weisheng. 1999. Soil and
                        Water  Conservation Strategies on  the Red dan Yellow Soils of South
                        China. dalam Suistaining the Global Farm. International Soil
                        Conservation Organization Meeting. Purdue University : 165-170.
                         www.tuscon.ars.ag.gov/isco/ diakses Oktober 2006.

Rahman,A., Siwardjo,H., Watung, R.I. dan Sembiring,H. 1989. Efisiensi Teras
                        Bangku dan Teras Gulud dalam Pengendalian Erosi. Rísalah Diskusi
                        Ilmiah dan  Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi
                        Daerah Aliran Sungai. Badan Penelitian dan Pengembangan
                        Pertanian. Departemen RI.: 11-16.

Rachman,A., Watung, R.I. dan Haryati,U.1989. Peranan Tanaman Penutup Tanah
                       dalam  Pengendalian Erosi Tampingan Teras Bangku pada Tanah
                       Latosol Ungaran. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil Penelitian Pertanian
                       Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran Sungai. Badan
                       Penelitian dan  Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI.:
                       3-10.

Rao,N.S.S.1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Diterjemahkan
                        oleh Herawati Susilo. Edisi Kedua. Universitas Indonesia
                        Press.Jakarta: 218-219.

Sasa,J., Ispandi,A., Sembiring,H., Djumali dan Fagi,A.M. 1988. Pola Tanam
                       Konservasi DAS Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah Lokakarya Hasil
                       Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran
                       Sungai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
                       Pertanian RI.:37-42.

Sembiring,H., Thamrin,M., Farid,A., Kartono,G., Rachman,A. Dan Sukmana,S.
                       1989.  Pengaruh Bentuk Teras terhadap Erosi dan Produktifitas Tanah
                       Aquic  Tropudalf di Srimulyo Malang. Risalah Diskusi Ilmiah Hasil
                       Penelitian  Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di Daerah Aliran
                       Sungai. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
                       Pertanian RI.:18-22.


Soemartono. 1989. Teknik Budidaya Lahan Kering yang Produktif, Stabil,
                      Terlanjutkan  dan Merata. Seminar Budidaya Tanaman Lahan Kering
                      dalam Rangka Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Yayasan
                      Dharma Karya. Yogyakarta. 18 h.

Sri Yuwanti.1993. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Usaha Peningkatan
                      Pendapatan  Petani di Kawasan Lahan Kering DAS Jratunseluna.
                      Risalah Lokakarya Pelembagaan Penelitian dan Pengembangan Sistem
                      Usahatani Konservasi di Lahan Kering Hulu DAS Jratunseluna dan
                      Brantas. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen
                      Pertanian.RI. :188-189.

Thamrin,M., Hendarto,T., Supriadi dan Ispandi,A. 1993. Penelitian Konservasi
                      Tanah di  Daerah Aliran Sungai Brantas Hulu. Risalah Lokakarya  
                      Pelembagaan  Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani
                      Konservasi di Lahan  Kering Hulu DAS Jratunseluna dan Brantas.
                      Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian
                      RI.: 23-27.

Watanabe,I. 1984. Use of Symbiotic and Free-living Bluegreen Algae in Rice
                      Culture. Outlook Agric. 13(4): 166-172.

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar :

Posting Komentar